Pemikiran M. Naquib Al-Attas dan Hasan Al-Banna
PEMIKIRAN PENDIDIKAN
ISLAM
M. NAQUIB AL-ATTAS DAN HASAN AL-BANA
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan
merupakan bagian vital dalam kehidupan manusia. Pendidikan Islam dengan
berbagai coraknya berorintasi memberikan bekal kepada manusia untuk mencapai kebahagiaan
dunia dan akhirat.Oleh karena itu, tentunya perlu adanya pembaharuan konsep dan
aktualisasinya dalam rangka menyambut perkembangan zaman yang selalu dinamis
dan temporal, agar peserta didik tidak hanya tertuju kepada kebahagiaan hidup
setelah mati, tetapi juga kebahagiaan hidup di dunia.
Namun
dalam kenyataannya dalam menyambut perkembangan zaman tersebut tidaklah mudah
bahkan telah muncul berbagai isu mengenai krisis pendidikan Islam dan problem
yang lain yang sangat mendesak untuk dipecahkan. Inilah salah satu penyebab
yang menuntut perlu adanya pembaharuan dalam hal pendidikan dan segala hal yang
terkait dengan kehidupan umat Islam hingga seluruh manusia. Dewasa ini,
pendidikan Islam sedang menghadapi tantangan yang sangat berat seiring dengan datangnya
era globalisasi dan informasi. Tidak dapat dipungkiri betapa pengaruh Barat
pada dunia Islam sangat mempengaruhi alur perjalanan kaum muslim terutama dalam
bidang Pendidikan. Sistem pendidikan yang ada antara tradisional-modern telah
membuat kejatuhan umat Islam. Jika hal tersebut dibiarkan maka dapat
menggagalkan dan mendangkalkan perjuangan umat Islam dalam rangka menjalankan
amanah yang diberikan Allah yaitu manusia disamping sebagai hamba Allah juga
sebagai khalifah di muka bumi.
Oleh
sebab itu, jika umat Islam ingin kembali bangkit dan memegang andil besar dalam
sejarah sebagaimana kejayaannya, sangat ditentukan sejauh mana kemampuannya
mengatasi persoalan pendidikan yang sedang dialaminya. Berdasarkan fakta inilah
para tokoh pemikir dan pembaharuan Islam mulai muncul dan bahkan bekerja sama
merumuskan strategi Islamisasi ilmu dalam bentuk kurikulum pendidikan untuk
umat Islam yang dikenal sebagai tokoh filosof pendidikan Islam. Salah
diantaranya yang akan dibahas dalam makalah ini adalah Naquib al-Attas dan
Hasan al-Bana.
|
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana biografi Naquib al-Attas dan Hasan
al-Bana?
2.
Bagiamana pemikiran Islam Naquib al-Attas dan
Hasan al-Bana?
3.
Bagaimana aktualisasi kedua tokoh tersebut
dalam pendidikan Islam ?
C.
Tujuan Makalah
1.
Untuk mengetahui biografi Naquib al-Attas dan
Hasan al-Bana.
2.
Untuk mengetahui pemikiran Islam Naquib
al-Attas dan Hasan al-Bana.
3.
Untuk mengetahui aktualisasi kedua tokoh
tersebut dalam pendidikan Islam.
|
PEMBAHASAN
SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS
A.
Biografi Naquib al-Attas
Syed Muhammad Naquid al-Attas dilahirkan di
Bogor, Jawa Barat pada tanggal 5 September 1931 ketika Indonesia di bawah
kolonialisme Belanda.[1] Kedua orangtua al-Attas
merupakan orang-orang yang berdarah biru, ibunya berasal dari Bogor keturunan
bangsawan Sunda ada ayahnya tergolong bangsawan di Johor[2]. Syed M. Naquib al-Attas
adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya bernama Syed Husein,
seorang sosiologi dan mantan wakil rektor Universitas Malaya, sedangkan adiknya
bernama Syed Zaid, seorang insyinyur kimia dan mantan dosen Institut Teknologi
MARA.[3]
Al-Attas merupakan bibit unggul dalam
percaturan perkembangan intelektual Islam di Indonesia dan Malaysia. Faktor
intern keluarga al Attas yang membentuk karakter dasar dalam dirinya. Bimbingan
orangtua selama 5 tahun merupakan penanaman sifat dasar bagi kelanjutan
hidupnya. Orang tuanya yang sangat religius memberikan
pendidikan dasar Islam yang kuat.
|
Ketika
beliau berusia 5 tahun, ia diajak oleh orangtuanya migrasi ke Malaysia.
Al-Attas dimasukkan dalam dasar pendidikan Ngee Heng Primary School (1936-1941)[4]. Melihat perkembangan
yang tidak menguntungkan yakni ketika Jepang menguasai Malaysia, Al-Attas dan
keluarganya pindah ke Indonesia. Kemudian al-Attas melanjutkan pendidikannya di
Indonesia di sekolah ‘urwah al wusqa, Sukabumi selama 5 tahun[5]. Sebuah lembaga
pendidikan yang menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar[6]. Pada tahun 1946,
al-Attas kembali ke Johor untuk merampungkan pendidikan yang selanjutnya, pertama
di Bukit Zahrah School kemudian English Colege (1946-1951). Setelah selesai
menuntut ilmu di Sukabumi, al-Attas memasuki dunia militer, pertama di Eton
Hall, Chester, Wales, kemudian di Royal Military Academy, Sandhurst, Inggris
(1952-1955).[7]
Pada tahun 1960 al-Attas mendapatan beasiswa
untuk belajar di Institut of Islamic Studies,Universitas McGill,
Montreal, yang didirikan oleh Wildfred Cantwell Smith. Disinilah di berkenalan
dengan beberapa sarjana dan intelektual terkenal, seperti Sir Hamilton Gibb (Ingggris),
Fazlur Rahman (Pakistan), Thoshihiko Izutsu (Jepang) dan Seyyed Hossein Nasr
(Iran). Al-Attas mendapatkan gelar Master of Art (M.A) dari universitas McGill pada tahun1962 setelah
tesisnya yang berjudul Raniry and the Wujudiyyah of 17th Century
Acheh
lulus dengan nilai yang sangat memuaskan.[8] Salah satu alasannya adalah ia ingin
membuktikan bahwa Islamisasi yang berkembang di kawasan tersebut bukan
dilaksanakan oleh Kolonial Belanda, melainkan murni dari upaya umat Islam
sendiri.[9]
Setahun kemudian al-Attas pindah ke SOAS (School of
Oriental an African
Studies),
Universitas London, untuk meneruskan pendidikan doktoralnya. Pada tahun 1965
beliau mendapatkan gelar Ph. D setelah dua jilid disertasi doktoralnya yang
berjudul the Myticism of Hamzah Fanshuri lulus dengan nilai yang sangat memuaskan.[10] Salah satu pengaruh
terbesar dalam diri al-Attas adalah asumsi yang mengatakan bahwa terdapat
integritas antara realitias metafisis, kosmologi dan psikologi.[11]
Al-Attas kembali ke Malaysia pada tahun 1965,
ia termasuk orang pertama yang mendapatkan gelar (Doctor of Philosopy), beliau dilantik menjadi ketua jurusan
Sastra di Fakultas Kajian Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur. Pada tahun
1968-1970, dia dipercaya untuk menjabat sebagai Dekan Fakultas Kajian Melayu
Universitas Malaya, Kuala Lumpur. Ia sering mendapatkan penghargaan internasional, baik dari
para sarjana orientalis maupun dari para pakar peradaban Islam dan
Melayu. [12]
B.
Pemikiran Naquib al-Attas Tentang Pendidikan
Paradigma pemikiran al-Attas bila dikaji
secara historis merupakan sebuah pemikiran yang berawal dari dunia metafisis
kemudian ke dunia kosmologis dan bermuara pada dunia psikologis. Pemikiran
al-Attas berawal dari keprihatinannya terhadap penyempitan makna terhadap
istilah-istilah ilmiah Islam yang disebabkan oleh upaya westernisasi,
mitologis, pemasukkan hal-hal yang gaib (magis) dan sekularisasi.[13] Untuk menanggulangi hal
tersebut dan bahkan mengembalikannya pada makna yang sebenarnya, maka al-Attas menawarkan
tentang pendidikan dalam Islam yang meliputi: konsep ta’dib, dan peranan pendidik
serta peserta didik, peranan bahasa, metode pendidikan dan terakhir kurikulum
(materi) serta sistem pendidikan dalam Islam.[14] Berikut akan diuraikan pemikiran
M. Naquib al-Attas dalam Iqbal sebagaimana berikut[15]:
1.
Konsep Ta’dib
Kata ta’dib dalam terminologi al-Attas secara sederhana
adalah sebagai suatu usaha peresapan (instilling) dan penanaman (inculcation) adab pada diri manusia (dalam konteks pendidikan
disebut peserta didik) dalam pendidikan. Kemudian dengan begitu adab dapat diartikan sebagai content atau kandungan yang harus
ditanamkan dalam proses pendidikan Islam.
Al-Attas jugamengatakan bahwa Adab dapat diartikan sebagai masyhad (spectacle
atau lukisan) keadilan
yang dicerminkan oleh kearifan (wisdom), ini adalah pengakuan atas berbagai
hirerarkhi (maratib) dalam tata tingkat wujud (being), eksistensi,
pengetahuan dan perbuatan seiring yang sesuai dengan pengakuan itu. Adab berarti pula discipline
of body, mind and soul.
Dalam arti yang luas al-Attas memberikan
definisi adab sebagai: recognition and acknowledgementof the reality that
knowledge and being are ordered hierarchically according to their and to one’s
physical, intellectual and spiritual capacities and potentials. Pengenalan dan pengakuan
terhadap realitas bahwasanya ilmu (pengetahuan) dan segala sesuatu yang wujud
yang ada terdiri dari hierarkhi yang sesuai dengan kategori-kategori dan
tingkatan-tingkatannya, dan bahwa seseorang itu memiliki tempatnya
masing-masing dalam hubungannya dengan realitas serta kapasitas, potensi fisik,
intelektual dan spiritualnya.
Pentingnya makna adab dan keterkaitannya dengan pendidikan manusia
yang baik akan semakin terasa ketika disadarinya bahwasannya pengenalan,
meliputi ilmu dan pengakuan, tindakan, tentang tempat yang tepat, sangat
berhubungan dengan kata-kata kunci lainnya dalam pandangan hidup Islam, seperti
hikmah (kebijksanaan) dan adl (keadilan), realitas dan kebenaran (haqq). Realitas dan kebenaran
itu sendiri dipahami memiliki korespondensi dan koherensi dengan tempat yang
tepat. Selanjutnya menurut al-Attas pendidikan adalah peresapan atau penyemaian
(instilling) dan penanaman (inculnation) adab dalam diri seseorang ini disebut ta’dib.
Adab menurut al-Attas sendiri sudah melebur secara
konseptual dengan ilmu dan amal. Al-Attas tidak setuju dengan adanya kompromis:
“arti pendidikan secara keseluruhan terdapat dalam konotasi istilah tarbiyah,
ta’lim, dan
ta’dib yang dipakai secara bersamaan. Menurutnya al-Attas, jika benar-benar
dipahami dan dijelaskan dengan baik, konsep ta’dib adalah konsep yang paling tepat untuk
pendidikan dalam Islam, bukannya tarbiyah ataupun ta’lim sebagai mana yang dipakai pada masa itu. Beliau
juga menjelaskan bahwa struktur konsep ta’dib sudah mencakup unsur ilmu (‘ilm), pengajaran (ta’lim) dan tarbiyah (pemahaman) sehingga
tidak perlu lagi dikatakan konsep pendidikan dalam Islam adalah sebagaimana
yang terdapat dalam trilogi yakni tarbiyah, ta’lim, ta’dib.
M. Naquib al-Attas menolak salah satu bahkan
kedua istilah (ta’lim dan tarbiyah ) disebabkan karena istilah tersebut
menunjukkan ketidaksesuaian (irrelevansi) makna. Beliau menolak tarbiyah karena istilah ini hanya
menyinggung aspek fisikal dalam mengembangkan tanam-tanaman danterbatas pada
aspek fisikal dan emosional dalam pertumbuhan dan perkembangan binatang dan
manusia. Pendapat ini nampaknya senada oleh pendapat Ibnu Miskawaih bahwa
istilah ta’dib menunjukkan proses pendidikan intelektual, spiritual dan sosial, baik
bagi anak muda maupun orang dewasa, sedangkan tarbiyah dipakai untuk mengajari binatang. Oleh karena
itu tarbiyah hanya berkaitan dengan pengembangan fisikal dan emosional manusia.
Al-Attas juga mengingatkan akibat yang
diterima sebagai konsekuensi logis jika tidak diterapkannya konsep ta’dib sebagai pendidikan Islam,
yakni pertama, Confusion
and error in knowledge, creating the condition for. (kebingungan dan
kekeliruan persepsi mengenai ilmu pengetahuan, yang selanjutnya akan
menciptakan kondisi:), kedua, Loss of
adab within the Comunity. The condition arising out of (1) and (2) is: (Ketiadan adab dalam
suatu masyarakat. Akibat yang muncul dari poin pertama dan kedua adalah:) ketiga,
The rise of leaders who are not qualified for valid leadership of The
Muslim Comunity; who do not possess the high moral, intellectual, spiritual
satndars high required for Islamic leadership who perpetuate the condition in
(1) above and ensure the continued control over the affais of the Comunity by
leaders like them who dominate in all fields (Munculnya pemimpin-pemimpin yang tidak
memenuhi syarat kepemimpinan yang absah dalam umat Islam, yang tidak memiliki
standart moral, intelektual dan spiritual yang tinggi yang dibutuhkan bagi
kepemimpinan umat Islam. Mereka akan mempertahankan kondisi yang disebutkan
dalam poin pertama di atas dan akan terus mengontrol permasalahan-permasalahan
sosial-kemasyarakatan melalui tangan para pemimpin lain yang berwatak sama
dengan mereka dan mendominasi berbagai sektor kehidupan).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat
disimpulkan dan kita pahami bahwa dalam konsep pendidikan M. Naquib al-Attas,
beliau lebih menekankan konsep ta’dib pada
proses pendidikan manusia, yakni berupa pengenalan, penyadaran kepada manusia
terhadap posisinya dalam tatanan kehidupan.
Penekanan ta’dib ini dimaksudkan agar ilmu yang diperoleh dapat
diamalkan secara baik dan tidak disalahgunakan menurut kehendak bebas pemilik
ilmu, sebab ilmu tidaklah bebas nilai (value free) tetapi sarat nilai (value
laden),
yakni nilai-nilai Islami yang mengharuskan pemiliknya untuk mengamalkan demi
kepentingan dan kemaslahatan baik untuk dirinya, keluarganya, lingkungan,
masyarakat, agama, bangsa dan negara.
2.
Dasar dan Peranan Pendidik serta Peserta Didik
dalam Pendidikan
M. Naquib al-Attas mengatakan bahwa otoritas
tertinggi dalam pendidikan Islam adalah al-Qur’an dan as-Sunnah atau Hadits
Nabi, yang diteruskan oleh para sahabat dan para ilmuwan yang benar-benar
mengikuti sunnahnya, memiliki derajat pengetahuan, kebijaksanaan dan pengalaman
spiritual, yang selalu mengaplikasikan agama pada tingkat ihsan.
Peranan guru (pendidik) dalam proses
pendidikan sangat urgent. Sebelum belajar kepada seorang guru, peserta
didik harus mempersiapkan spiritualnya dulu seperti, niat yang ikhlas, sabar
dan jujur sehingga kualitas imannya akan menjadi lebih kuat. Beliau juga
mengatakan bahwa peserta didik harus menginternalisasikan adab dan
mengaplikasikan sikap tersebut, sebagaimana diungkapkannya dalam bukunya Risalah dikutip oleh Iqbal dari
Wan Mohd Wan Daud: “Ilmu pengtahuan harus dikuasai dengan pendekatan
yang berlandaskan sikap ikhlas, hormat dan sederhana terhadapnya. Pengetahuan
tidak dapat dikuasai dengan tergesa-gesa seakan-akan penetahuan adalah suatu
yang terbuka bagi siapa saja yang menguasainya tanpa terlebih dahulu memilik
pada arah dantujuan, kemampuan dan persiapan”.
Peserta didik ahrus menghormati danpercaya
pada guru, sabar dengan kekurangan gurunya menempatkannya dalam perspektifyang
wajar. Peserta didik harus memahami dengan benar isi dan pesan yang disampaikan
oleh gurunya dan mengaplikasikannya secara tepat dalam kehidupan pribadi dan
sosial.
3.
Peranan Bahasa
Al-Attas mengatakan, berita yang benar (khabar shadiq) adalah salah satu sarana untuk mendapatkan
ilmu pengetahuan, disamping panca indera (al-Hawas al-Khamsah), common sense (al-Aql
as-Salim),
dan intuisi (ilham). Komunikasi antara berita yang benar dan
interpretasi sumber tulisan ataupun verbal dari semua saluran ilmu lainnya
hanya akan membuahkan hasil jika kedua belah pihak yang terlibat memahami makna
yang benar dari pesan yang disampaikan. Oleh sebab itu, al-Attas memusatkan
perhatian pada misteri bahasa, eterutama bahasa Arab dan bahasa Islam serta
bahasa asing pentinglainnya, sebagai alat transmisi dan pencairan ilmu
pengetahuan dan kebenaran.
4.
Metode Pendidikan
Penyakit yang melanda dunia Islam adalah symptom
dikhotomi yang
secara langsung ataupun tidak langsung dipengaruhi oleh dunia Barat. Padahal sebelumnya dalam
dunia Islam tidak dikenal yang namanya dikhotomi. Untuk menyelesaikan
problematika dikhotomi itu, maka diperlukan suatu metode yaitu metode
tauhid. Metode
ini diformulasikan untuk menekankan bahwa tidak ada dikhotomi misalnya, antara
apa yang dianggap teori dan praktik. Jika benar-benar mengetahui suatu teori,
seseorang mestinya mampu mengaplikasikannya dalam praktik. Tidak ada pemisahan
antara rasionalisme, atau empirisme dengan intuisisme.
Metode yang digunakan oleh al-Attas adalah metafora dan cerita sebagai contoh atau
perumpamaan sebuah metode yang juga banyak digunakana dalam al-Qur’an dan
al-Hadits. Beliau mengungkapkan kisah ini untuk mengingatkan umat Islam bahwa
mereka hendaknya mengembangkan diri secara terus menerus karena merekalah
sesungguhnya yang menampilkan wajah Islam. Sebab, beberapa Muslim yang jahil hanya akan menilai penampila lahiriah, yang
dalam perspektif mereka, kurang atau bahwa meninggalkan agama ini dan
menghinanya.
5.
Kurikulum dan Sistem Pendidikan dalam Islam
Kajian al-Attas mengenai kurikulum pendidikan
dalam Islam berangkat dari pandangan bahwa manusia itu bersifat dualistik. Pertama, yang memenuhi
kebutuhannyayang berdimensi permanen dan spiritual; dan kedua, yang memenuhi kebutuhan
material dan emosional. Untuk mengetahui
kurikulum pendidikan dan sistem pendidikan yang dikehendaki oleh al-Attas maka
terlebih dahulu harus mengetahui pembagian dan hierarkhi ilmu pengetahuan yang
diformulasikan al-Attas.
Al-Attas berpandangan bahhwa manusia terdiri
dari dua unsur, jasmani dan ruhani, maka ilmu juga terbagi ke dalam 2 kategori,
yaitu pertama, ilmu yang diberikan Allah (melalui wahyu) dan kedua, ilmu capaian (yang
diperoleh dari usaha pengamatan,
pengalaman, dan riset manusia). Namun pada hakikatnya dalam Islam ilmu itu
hanya satu sumber, semua ilmu datang dari Allah. Perbedaannya pada cara
kedatangannya serta indera yang menerimanya.
Dalam sistem pendidikan 3 tahap (rendah,
menengah, dan tinggi) ilmu fardhu’ain harus diajarkan tidak hanya pada tingkat
rendah, malinkan juga pada tingkat menengah dan tingkat tinggi (universitas).
Karena menurutnya universitas merupakan cerminan sistematisasi yang paling
tinggi, maka formulasi kandungannya harus didahulukan.
C.
Aktualisasinya Dalam Pendidikan Islam
Pendidikan menurut
al-Attas adalah “penyemaian dan penanaman adab dalam diri seseorang ini
disebut ta’dib . Oleh karena itu tujuan diadakannya proses pendidikan
adalah menyemaikan dan menanamkan adab ke dalam diri seorang individu,
sehingga seseorang tersebut mempunyai adab. Syed Muhammad Naquib
Al-Attas memberikan kriteria manusia yang
beradab yang menuntut hadirnya adab dalam berbagai tingkat pengalaman hidup manusia. Pertama,
mengakui bahwa seseorang – dirinya sendiri itu –
terdiri dari dua unsur yaitu akal dan sifat-sifat kebinatangan, dan ketika
akalnya bisa mengontrol dan menguasai sifat-sifat kebinatangannya, maka orang
itu telah menjadi manusia yang ber-adab karena telah berlaku adil
terhadap diri sendiri. Itulah awal mula adab hadir terhadapdiri sendiri.
Kedua,
menerapkan atau memenuhi norma-norma etika dalam
tata karma sosial dan berada pada posisinya yang benar sesuai dengan kedudukannya
baik dengan keluarga maupun dengan masyarakat. Ketiga,
menerapkan disiplin intelektual yang mengenal dan
mengakui adanya hierarkhi ilmu berdasarkan kriteria tingkat-tingkat keluhuran
dan kemuliaan, yang memungkinkannya mengenal dan mengakui bahasa seseorang yang
pengetahuannya berdasarkan wakhyu itu jauh lebih luhur dan mulia dari pada ilmu
pengetahuannya berdasarkan akal.
Keempat, Memanfaatkan dan meletakkan segala sesuatu yang ada
di alam semseta ini pada tempatnya yang benar, baik dalam konteksnya sebagai
tanda-tanda Tuhan. Kelima,
Mengenal dan mengakui adanya tempat yang benar dan
tepat untuk setiap kata, baik dalam tulisan maupun ucapan sehingga tidak
menimbulkan kerancuan makna, bunyi dan konsep. Keenam,
seseorang itu
telah berhasil menghadirkan adab kedalam alam spiritual. Jadi
dalam hal ini Adab adalah pengenalan dan pengakuan terhadap
tingkat-tingkat keluhuran yang menjadi sifat alam spiritual; pengenalan dan
pengakuan terhadap berbagai maqam spiritual berdasarkab ibadah;
pengenalan dan pengakuan terhadap disiplin spiritual yang dengan benar telah
menyerahkan fisik atau jiwa kebinatangn pada spiritual ataupun akal.[16]
Tujuan utama pendidikan
Islam adalah manusia ber-adab. Namun melihat fenomena yang terjadi di
dunia sekarang, dimana banyak manusia yang tidak ber-adab. Menurut
al-Attas hal ini disebabkan oleh aspek eksternal dan internal; aspek eksternal
disebabkan oleh tantangan religio-kultral dan sosio-politis dari
kultur dan kebudayaan Barat; dan aspek internalnya bisa dilihat dari fenomena;
kebingungan dan salah pemimpin-pemimpin yang tidak pantas memikul tanggung
jawab.
Pertama yang harus diatasi
dalam hal ini adalah ketiadaan adab, karena kebingungan dan kesalahan
memahami ilmu serta munculnya pemimpin buruk adalah berasal tidak adanya adab.
Menurut al-Attas sistem pendidikan yang sempurna adalah yang merefleksikan
sistem yang ada pada manusia karena di dalam diri manusia ini ada sistem yang
teratur dan rapi.
Berkaitan dengan ilmu fardhu
kifayah, al-Attas berpendapat bahwa ilmu ini harus melalui proses
Islamisasi, yakni pembebasan dari magis, mitos, animistik, tradisi
kultur-nasional dan kontrol sekuler yang menguasai pikiran dan bahasanya. Salah
satu caranya adalah penggunaan elemen-elemen dan istilah-istilah kunci harus
berdasarkan cara pandang Isalam, utamanya berkenaan dengan Sain Humaniora.
Istilah yang digunakan adalah pengisolasian setiao cabang ilmu rasional,
intelektual, dan filsafat dari istilah-istilah kunci asing.
Pendidikan merupakan suatu
prses panjang untuk mengaktualkan seluruh pontensi diri manusia sehingga
potensi kemanusiaannya menjadi aktual. Sistem menumbuhkembangkan potensi
diriitu telah ditawarkan secara sempurna dalam sistem ajaran Islam, ini yang
pada akhirnya menjadikan manusia dapat menjalankan tugas yang telah diamanahkan
Allah. Karena manusia yang baik adalah individu yang sadar sepenuhnya akan
individualitasnyadan hubugannya yang tepat dengan diri, Tuhan, masayarakt dan
alam sekitarnya.
HASAN AL-BANA
A. Biografi Hasan al-Bana
Hasan al-Bana
dilahirkan di desa Mahmudiyah kawasan Buhairah, Mesir tahun 1906 M. Sejak kecil
al-Bana sudah menunjukkan tanda-tanda kecemerlangan otaknya. Pada masa kecil,
Hasan al-Bana di didik langsung oleh ayahnya Syaikh Ahmad bin Abdurrahman bin
Muhammad al-Bana as-Sadati yang mengajarkan al-Qur’an, al-Hadits, fiqih, bahasa
dan tasawuf.[17]
Di usia 12 tahun, Hasan kecil telah mengahafal separuh isi al-Qur’an. Ayahnya
terus menerus memotivasi al-Bana agar melengkapi hafalannya. Sejak itu dia
mendisiplinkan kegiatannya menjadi empat tahap; siang hari dipergunakannya
untuk belajar di sekolah, kemudian belajar membuat dan memperbaiki jam dengan
orangtuanya hingga sore, sore hingga menjelang tidur digunakannya untuk
mengulang pelajaran sekolah, sementara membaca dan mengulang hafalan al-Qur’an
dia lakukan selesai shalat subuh. Pada
usia 14 tahun Hasan al-Bana telah menghafal seluruh al-Qur’an.[18]
Hasan al-Bana
lulus sekolah dengan predikat terbaik di sekolahnya dan kelima terbaik di
seluruh Mesir. Pada usia 16 tahun dia telah menjadi mahasiswa di perguruan
tinggi Dar al-Ulum, Universitas Kairo. Selain prestasinya di bidang akademik,
dia juga memiliki bakat leadership yang cemerlang. Semenjak mudanya
Hasan al-Bana selalu terpilih untuk menjadi ketua organisasi siswa di
sekolahnya. Pada usia 21 tahun, al-Bana menamatkan studinya di Dar al-Ulum dan
ditunjuk menjadi guru di Isma’iliyah.[19]
Dari latar belakang pendidikan tersebut tidaklah
mengherankan jika Hasan al-Bana kemudian tampil sebagai sosok da’i, pejuang,
propagandis dan politikus yang gigih dalam memperjuangkan cita-citanya.
Keterpaduan moral dan intelektual pada diri Hasan al-Bana itu menjadikannya
sebagai orang yang berkepribadian luhur, sehingga kepribadian tersebut
benar-benar dapat menyatu sekaligus mempengaruhi para pengikutnya.
Hasan al-Bana mendirikan sebuah organisasi yang
dikenal dengan nama Ikhwan al-Muslimin pada tahun 1923. Pada awal berdirinya
Ikhwan al-Muslimin beranggotakan 100 orang yang dipilih langsung oleh al-Banna.[20]
Sebagai sebuah organisasi sosial dan kemasyarakatan, kehadiran Ikhwan
al-Muslimin tidak dapat dilepaskan dari perkembangan masyarakat yang terjadi di
Mesir pada waktu itu. Ikhwan al-Muslimin muncul sebagai reaksi terhadap sosio
moral di Kairo dimana masyarakatnya pada saat itu kurang peduli lagi terhadap
nilai-nilai Islam. Para ulama di Mesir dinilai kurang lagi mampu berbuat untuk
menghentikan tingkah laku kaum modernis kecuali hanya melemparkan sumpah
serapah terhadap berbagai masalah bid’ah. Akibatnya, kehidupan keagamaan
menjadi cenderung formalis dan penuh kemunafikan. Sementara praktik mistik
membawa masyarakat kepada kehidupan tahayul dan memadamkan sifat orisinal Islam
yang dikenal kreatif.[21]
Faktor lain yang melatarbelakangi munculnya Ikhwan
al-Muslimin adalah masalah kekacauan dalam bidang pendidikan. Berbagai sumber
mencatat, bahwa dalam sistem pendidikan terjadi dualisme. Di satu pihak
sekolah-sekolah pemerintah hanya mementingkan pengetahuan umum dan mengabaikan
masyarakat, sedangkan di pihak lain sekolah agama melupakan pengetahuan umum. Konsep
Ikhwan al-Muslimin ditujukan bagi pemecahan berbagai masalah sosial yang
dihadapi. Dengan kata lain, Ikhwan al-Muslimin melihat pendidikan sebagai alat
untuk membantu masyarakat dalam menghadapi berbagai masalah dalam kehidupan.[22]
B. Pemikiran Hasan al-Bana dalam
Pendidikan
Hasan al-Banna adalah
seorang tokoh pembaru atau modernis dalam dunia Islam. Beliau dikenal sebagai
tokoh pembaru, tidak hanya dalam bidang pendidikan, tetapi juga dalam bidang
politik, ekonomi, sosial, dan kemasyarakatan. Hasan Al-Banna memiliki gagasan bahwa
kejumudan umat Islam disebabkan kesalahan dalam bidang pendidikan. Menurut
Hasan al-Banna, Allah telah menjadikan akal manusia sebagai faktor yang dominan
dan untuk itu manusia diperintahkan untuk meneliti, menganalisa, dan berpikir.
1. Sistem/Konsep
Pendidikan
Sistem pendidikan yang
diterapkan Hasan Al Banna dalam Madrasah Hasan Al Banna berbeda kontras dengan
sistem pendidikan yang dibangun oleh dasar individualis maupun sosialis
komunis. Bahkan pendidikan Al Banna dalam masyarakat yang diatur oleh Al-Qur‟an
dan di dalamnya dominan ajaran-ajaran Islam berbeda pula dengan pendidikan
muslim yang di dalamnya terdapat ide sekuler. Sistem pendidikan yang dibangun
Hasan Al Banna mengacu kepada tujuan yang jelas, langkah-langkah yang nyata,
sumber yang terang yang digali dari ajaran Islam kaffah bukan dari ajaran yang
lainnya.[23]
Konsep pendidikan Hasan Al-Banna diarahkan pada pemecahan
permasalahan yang muncul. Di antara pemikiran Hasan Al-Banna dalam hal ini
berkaitan dengan upaya mengintegrasikan sistem pendidikan yang dikotomis di
antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Berangkat dari maksud tersebut,
Hasan Al-Banna melalui organisasi yang didirikannya berupaya memberi nilai
agama pada pengetahuan umum dan memberi motivasi dan peningkatan terhadap
pengetahuan dan amaliah agama sehingga sikap keagamaan tampil lebih aktual.
Berkaitan dengan hal tersebut, Hasan Al-Banna berusaha memperbarui makna iman
yang dianggap telah lapuk oleh peradaban modern, yaitu dengan cara kembali
kepada sumber-sumber ajaran yang masih orisinal.[24]
Tiang pendidikan
berdasarkan ketuhanan ialah hati yang hidup yang berhubungan dengan Allah Swt.,
meyakini pertemuan dengan-Nya dan hisab-Nya, mengharapkan rahmat-Nya dan takut
akan siksa-Nya. Hakikat manusia bukanlah terletak pada bentuk fisiknya,
melainkan pada jiwa yang bersemi pada fisik yang digerakkan-Nya. Hakikat itu
adalah segumpal darah (mudghah). Bila ia baik maka baiklah hidup seluruhnya,
dan bila ia rusak maka rusaklah tubuh seluruhnya, itulah hati. Hati adalah
suatu wujud yang dapat menghubungkan manusia dengan rahasia hidup dan rahasia
wujud dan mengangkatnya dari alam bumi ke alam yang tinggi, dari makhluk kepada
Khaliq. Oleh sebab itu, di antara tujuan spiritual Ikhwanul Muslimin adalah
menghidupkan hati supaya tidak mati, menghaluskannya supaya tidak keras.
Al-Banna membuat
program ibadah praktis
yang diamalkan oleh jamaahnya,
baik secara perorangan maupun secara berjamaah. Di antara program tersebut
adalah disiplin dalam bermujahadah, baik melalui wirid Al-Quran maupun wirid
dzikir yang ma’tsur dengan harapan dapat mengikat perasaan selalu bersama
dengan Allah. Di samping itu, Al-Banna menganjurkan untuk melaksanakan shalat
dan puasa sesuai dengan hadis yang jelas kesahihannya. Melalui lembaga
pendidikan spiritual Ikhwanul Muslimin (ma’had tarbiyah ruhiyah Ikhwanul
Muslimin), Al-Banna menjelaskan
beberapa petunjuk tentang shalat
lail dan memotivasi anggotanya untuk melaksanakannya.
2. Ruang Lingkup Pendidikan Islam
Pada dasarnya
Madrasah Hasan Al-Banna
berorientasi pada pengembangan
seluruh potensi yang ada pada diri manusia, sebab Islam sangat menaruh
perhatian penciptaan manusia yang utuh, baik dari segi jasmani dan ruhani.
Untuk dapat mewujudkan hal tersebut, Al-Banna menetapkan beberapa aspek sebagai
bahan harapan. Aspek-aspek pendidikan dalam sistem pendidikan madrasah Hasan
Al-Banna adalah Intelegensi ( akal), pendidikan moral (tarbiyah Khuluqiyah),
pendidikan jasmani dan ruhani, pendidikan jihad, pendidikan politik, dan aspek
pendidikan sosial.[25]
Pendidikan intelektual
atau pengembangan wawasan (tarbiyah aqliyah wa ma’rifatiyah) adalah sesuatu
yang ingin dicapai oleh Ikhwan. Perhatian mereka pada aspek ini adalah
berangkat dari keyakinan bahwa Islam tidak membekukan pikiran tetapi justru
membebaskan dan mendorong manusia untuk melakukan pengamatan dan observasi
alam. Tidak dibedakan antara ilmu dunia dan ilmu agama karena ilmu pengetahuan
adalah salah satu spesifikasi manusia. Hasan Al-Banna
memandang bahwa pengembangan
akal merupakan kebutuhan pokok bagi setiap Muslim yang dapat menunjang
keberhasilan keyakinan. Karena dengan pengetahuan akal akan menjadi paham atas
sesuatu yang diyakini.
Menurutnya, seorang Muslim harus mempunyai bukti-bukti tentang
Tuhannya agar mendapatkan keyakinan yang kuat. Islam tidak membenarkan
penganutnya menjadi muqallid. Dalam beriman seseorang dianjurkan untuk berpikir
sendiri, merenung, dan memahami. Hal ini dapat memperkuat keyakinannya.
Hasan Al-Banna menempatkan
pembentukan akal sebagai
prinsip utama pendidikan dengan didasarkan pada pemahaman Al-Quran
yang menempatkan akal
(ilmu) lebih dahulu
daripada iman dan taat.
Aspek pendidikan
moral adalah salah satu aspek yang terpenting pada madrasah Hasan Al-Banna,
sebab semua bentuk pendidikan mengandung aktivitas moral, baik secara tersirat
maupun tersurat. Al-Banna memberikan pemikiran yang besar terhadap pendidikan
akhlak untuk para anggotanya karena Nabi Muhammad sendiri sangat memerhatikan
pada masalah akhlak.Dalam mendukung perjuangannya, Al-Banna memprioritaskan
pembinaan akhlak dengan penanaman sifat sabar, cita-cita yang luhur dan
pengorbanan. Karena keempat sifat tersebut merupakan bekal perjuangan.
Mengingat betapa pentingnya pendidikan akhlak, Al-Banna sering kali
menyampaikannya baik melalui madrasah, melalui kehidupan sehari-hari, media
cetak, masjid-masjid, maupun sarana lainnya. Karena kekuatan akan lebih mudah
dibangun jika dilandasi dengan akhlak yang mulia. Begitu pula sebaliknya,
bangunan akan mudah runtuh jika dilandasi dengan akhlak yang tercela. Dalam
pembinaan akhlak, Al-Banna mendirikan madrasah khusus pada setiap hari Jumat.
Di samping pembinaan aspek ruhani, Al-Banna juga
tidak mengabaikan aspek jasmani. Sebab, tubuh adalah sarana manusia untuk
melaksanakan kewajiban-kewajiban agama dan dunia. Berikut ini di antara tujuan
dari pendidikan jasmani di madrasah Al-Banna. (a) Kesehatan badan dan terhindar
dari penyakit. Kesehatan memiliki pengaruh yang besar terhadap jiwa dan akal.
Karena itu, dapat dikatakan bahwa akal yang sehat berada
pada tubuh yang
sehat pula. Tubuh yang
sakit tidak akan mampu
melaksanakan tugas-tugasnya secara
optimal. Dari itu perlu
adanya perhatian terhadap
pemeliharaan kesehatan dan kebersihan. (b)
Kekuatan jasmani dan keterampilan. Kesehatan
jasmani perlu dibina
sehingga dapat mewujudkan
kekuatan dan keterampilan. Hal ini perlu diperhatikan mengingat orang mukmin
yang kuat lebih dapat memberikan manfaat kepada orang lain dibanding dengan
orang lemah. (c) Keuletan dan ketahanan tubuh. Dalam rangka
mewujudkan beberapa tujuan tersebut, Hasan Al-Banna membina jasmani
anggotanya, di antaranya
dengan mendirikan klub-klub
olahraga, kepramukaan, dan lain-lain. Dengan maksud agar setiap anggota sanggup
menghadapi setiap situasi, sebab sudah terlatih. Pendidikan yang sewaktu-waktu
keras memiliki pengaruh yang besar terhadap kesiapan fisik dan mental. Seperti
ketika harus berjihad fi sabilillah dengan mengangkat senjata, membutuhkan
kekuatan jasmani dan kekuatan khusus. Dari sini dapat disimpulkan bahwa
pendidikan jasmani madrasah Hasan
Al-Banna memiliki keterkaitan
langsung dengan partisipasi politik Ikhwanul Muslimin.
Di antara aspek
pendidikan Ikhwanul Muslimin yang menonjol adalah pendidikan jihad, bukan
pendidikan kemiliteran. Sebab,
makna jihad lebih
luas daripada kemiliteran.
Pendidikan kemiliteran adalah disiplin dan pelatihan, sementara jihad
mengandung muatan iman,
akhlak, jiwa, dan pengorbanan di
samping disiplin dan
latihan pula. Pendidikan jihad ditanamkan
Al-Banna melalui berbagai
macam media, baik pendidikan, dakwah,
maupun majalah yang
difokuskan pada pengembangan semangat jihad dan rela berkorban untuk menegakkan agama
Allah, lebih lanjut untuk mempersiapkan fisik anggota Ikhwan yang bergabung dalam
“batalion jihad”, yang
telah terlatih dan berbekalkan senjata.Mengingat pentingnya
jihad, Hasan Al-Banna
beranggapan bahwa jihad merupakan salah satu rukun baiat dengan
semboyan: “Jihad itu jalan kami dan mati di jalan Allah itu adalah cita-cita
luhur kami”. Dengan semboyan tersebut, anggota Ikhwan akan siap berjihad fi
sabilillah kapan pun juga walaupun harus mengorbankan jiwa dan raga. Menurut
Hasan Al-Banna, jihad bukan sebatas pada perang fisik melawan musuh, melainkan
juga perang terhadap perilaku yang tidak dibenarkan oleh
Al-Quran dan Hadis,
seperti perilaku bid‘ah
dan kemungkaran. Bahkan, sikap tabah dan sabar atas kepahitan dalam
berdakwah juga termasuk jihad. Tingkatan jihad yang paling rendah adalah
penolakan hati, sedangkan yang paling tinggi adalah berperang di jalan Allah.
Adapun tingkatan jihad di antara keduanya berupa lisan dan tulisan.[26]
Dalam madrasah
Hasan Al-Banna, pendidikan
politik mendapatkan perhatian yang cukup besar. Hal ini dapat diketahui
dari sejarah berdirinya Ikhwanul Muslimin, bahwa di Mesir saat itu sebelum
tampilnya Hasan Al-Banna, politik kurang mendapatkan perhatian umat Islam.
Pengertian politik menjadi pertentangan bagaikan hitam dan putih, belum ada
pemikiran bahwa keduanya dapat disatukan dan memang seharusnya demikian. Banyak
pandangan yang mengatakan bahwa orang Islam haram untuk berpolitik, begitu pula
sebaliknya, orang yang berpolitik tidak berkenan mencampuri soal-soal
agama.Berangkat dari kenyataan
tersebut, Hasan Al-Banna
merasa terpanggil untuk dapat berjuang meluruskan persepsi yang kurang
benar tersebut; yang memungkinkan pemisahan antara agama dan negara, yang
berasal dari kaum imperialis dengan maksud agar umat Islam tidak memikirkan
urusan dunia atau berasal dari pemikiran kaum sufi yang sebenarnya keliru.
Sebab, jika kita mengaca kembali pemerintahan yang dibangun oleh Nabi Muhammad
Saw. di Madinah, tiada pemisahan di antara agama dan pemerintahan. Melalui
politik, suatu negara dapat mengarahkan, membimbing, dan mengembangkan
kehidupan bangsa. Khususnya dalam hal pendidikan, pengarahan didasarkan atas
falsafah negara yang mengikat semua sektor perkembangan bangsa dalam proses
pencapaian tujuan negara.[27]
Pada madrasah
Hasan Al-Banna, juga memerhatikan pentingnya pendidikan sosial, karena
membentuk individu menjadi
karakter sosial pada dasarnya adalah proses pembebasan, yaitu
pembebasan individu dari berbagai
refleksi yang bertentangan
dengan kecenderungan sosial. Hasan Al-Banna
mewajibkan para anggotanya untuk berakhlak sosial, seperti al-Muakhah,
al-Tafahum, dan al-Takaful. (a) al-Muakhah. Di
kalangan ikhwan, istilah
ini dimaksudkan agar
seseorang memandang
saudaranya yang lain
lebih berhak daripada
dirinya sendiri, serta berusaha untuk mendahulukan kepentingan umum di
atas kepentingan pribadi. Ukhuwah merupakan salah satu dari 10 rukun baiat. (b)
al-Tafahum (saling memahami). Hal ini dimaksudkan agar hubungan di antara
individu dengan kelompok dibangun atas saling percaya dan saling menasihati
dalam rangka kasih sayang dan saling menghormati. (c) al-Takaful, yaitu
bahwa semua anggota keluarga saling membantu, dalam
memenuhi kebutuhan. Sejumlah akhlak tersebut diharapkan melahirkan kuatnya
pertalian dan utuhnya solidaritas sosial.
C. Aktualisasinya dalam
Pendidikan Islam
Hasan
al-Bana melalui Ikhwan al-Muslimin berupaya mengintegrasikan sistem pendidikan
yang dikotomis antara pendidikan agama
dan pendidikan umum. Melalui upaya ini dimaksudkan untuk memberi nilai agama
pada pengetahuan umum dan memberi makna progressif terhadap pengetahuan dan amalan agama, sehingga sikap keagamaan
tampil lebih aktual.
Upaya
tersebut tampak pada bingkai pendidikan Ikhwan al-Muslimin yang berorientasi ketuhanan, universal, terpadu, seimbang dan
bermuatan keteampilan yang positif dan konstruktif. Orientasi ketuhanan dalam pendidikan Islam amatlah penting dan sangat
mendasar pengaruhnya terutama jika dihubungkan dengan tujuan pertama pendidikan
Islam. Aspek ketuhanan atau keimanan ini tentu saja tidak hanya sebatas
perkataan atau lisannya saja tetapi harus diimplementasikan dengan sikap dan
praktek ibadah serta rutinitas agama yang memberi dampak positif bagi masyarakat. Sementara itu orientasi universal, terpadu dan seimbang dimaksudkan
agar pendidikan Islam itu tidak hanya mementingkan satu segi tertentu saja dan
tidak pula mengharuskan adanya spesialisasi yang sempit melainkan mencakup
semua aspek secara terpadu dan seimbang.
Manusia terdiri dari unsur rohani, akal dan jasmani, ketiga unsur tersebut harus
terpadu dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Ruh adalah alat untuk mengadakan kontak dengan Allah yang tidak terlihat dan tidak bisa
diketahui materi dan cara kerjanya. Untuk mencapai tujuan penyatuan rohaniah dengan Allah manusia dianjurkan senantiasa
melibatkan Allah baik pada saat berpikir, merasa, maupun berbuat. Mengenai
aspek akal, Ikhwan al-Muslimin menilai
bahwa akal merupakan potensi atau kekuatan besar yang
diberikan Allah kepada manusia. Menurut Ikhwan al-Muslimin, berpikir dengan
menggunakan akal merupakan kegiatan mental yang bernilai ibadah. Sementara
pendidikan jasmani juga tidak kalah pentingnya, karena seorang muslim haruslah menjaga kesehatan dan kebugaran
jasadnya. Pendidikan jasmani ini ditujukan agar setiap Muslim berbadan sehat
dan berupaya menjaga kesehatan fisik dan mentalnya, agar setiap Muslim dapat
beraktivitas dengan lincah dan positif, serta mempunyai daya tahan tubuh yang senantiasa prima.
PENUTUP
SYED NAQUIB AL-ATTAS
Syed Muhammad Naquid al-Attas dilahirkan di
Bogor, Jawa Barat pada tanggal 5 September 1931. Pemikiran al-Attas berawal
dari keprihatinannya terhadap penyempitan makna terhadap istilah-istilah ilmiah
Islam yang disebabkan oleh upaya westernisasi, mitologis, pemasukkan hal-hal
yang gaib (magis) dan sekularisasi. Untuk menanggulangi hal tersebut, maka
al-Attas menawarkan tentang pendidikan dalam Islam yang meliputi: konsep ta’dib, dan peranan pendidik
serta peserta didik, peranan bahasa, metode pendidikan dan terakhir kurikulum
(materi) serta sistem pendidikan dalam Islam.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas memberikan kriteria manusia yang beradab; Pertama,
mengakui bahwa seseorang – dirinya sendiri itu –
terdiri dari dua unsur yaitu akal dan sifat-sifat kebinatangan. Kedua, menerapkan atau memenuhi norma-norma etika dalam
tata karma sosial. Ketiga,
menerapkan disiplin intelektual. Keempat, Memanfaatkan dan meletakkan segala sesuatu yang ada
di alam semesta ini pada tempatnya yang benar. Kelima,
Mengenal dan mengakui adanya tempat yang benar dan
tepat. Keenam, seseorang itu
telah berhasil menghadirkan adab kedalam alam spiritual.
HASAN
AL-BANA
Hasan al-Bana
dilahirkan di desa Mahmudiyah kawasan Buhairah, Mesir tahun 1906 M. Ia merupakan tokoh pembaru baik dalam bidang pendidikan, politik, sosial, dan
sebagainya.
Hasan Al-Banna memiliki gagasan bahwa kejumudan umat Islam
disebabkan kesalahan dalam bidang pendidikan. Menurut Hasan al-Banna, Allah
telah menjadikan akal manusia sebagai faktor yang dominan dan untuk itu manusia
diperintahkan untuk meneliti, menganalisa, dan berpikir.
Hasan al-Bana melalui Ikhwan al-Muslimin
berupaya mengintegrasikan sistem pendidikan yang dikotomis antara pendidikan agama
dan pendidikan umum. Melalui upaya ini dimaksudkan untuk memberi nilai agama
pada pengetahuan umum dan memberi makna progressif terhadap pengetahuan dan amalan agama, sehingga sikap keagamaan
tampil lebih aktual. Upaya
tersebut tampak pada bingkai pendidikan Ikhwan al-Muslimin yang berorientasi ketuhanan, universal, terpadu, seimbang dan
bermuatan keteampilan yang positif dan konstruktif.
|
DAFTAR PUSTAKA
Al
Banna, Muhammad. 2014. Pemikiran Hasan Al Banna dalam Pendidikan Islam. Skripsi: Uin
Syarif Hidayatullah. Jakarta.
Al-Attas,
Syed Muhammad. 2001. Risalah untuk Kaum Muslimin. Kuala Lumpur: ISTAC.
Ambary,
Hasan Muarif, et al. 1995. Suplemen Ensiklopedi Islam jilid 2. Jakarta:
PT. Ichtiar van Hoeve.
Iqbal,
Abu Muhammad. 2015. Pemikiran Pendidikan Islam: Gagasan-gagasan Besar Para
Ilmuwan Muslim. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Kurniawan,
Syamsul, & Erwin Mahrus. 2011. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Nata,
Abuddin. 2000. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Ramayulis
dan Samsul Nizar. 2011. Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem
Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya.
Jakarta: Kalam Mulia.
Sucipto,
Hery. 2003. Ensiklopedia Tokoh Islam Dari Abu Bakr hingga Nasr dan Qardhawi.
Bandung: PT Mizan Publika.
[1] Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah
Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para
Tokohnya (Jakarta: Kalam Mulia,
2011),
hlm. 299.
[2] Hasan Muarif Ambary, et al, Suplemen Ensiklopedi Islam jilid (Jakarta: PT. Ichtiar van Hoeve, 1995), hlm. 78.
[3] Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam:
Gagasan-gagasan Besar Para Ilmuwan Muslim (Yogyakarta:
Pustaka Belajar,
2015), hlm. 288.
[17] Abuddin Nata, Pemikiran Para
Tokoh Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 180.
[18] Hery Sucipto, Ensiklopedia
Tokoh Islam Dari Abu Bakr hingga Nasr dan Qardhawi (Bandung: PT Mizan
Publika, 2003), hlm. 236.
[23] Muhammad Al Banna, Skripsi:
Pemikiran
Hasan Al Banna dalam Pendidikan Islam (Uin Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2014), Hlm. 37.
[24] Syamsul Kurniawan & Erwin
Mahrus,
Jejak Pemikiran
Tokoh Pendidikan Islam (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), Hlm.162.
Comments
Post a Comment