Pemikiran M. Naquib Al-Attas dan Hasan Al-Banna

PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
M. NAQUIB AL-ATTAS DAN HASAN AL-BANA

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pendidikan merupakan bagian vital dalam kehidupan manusia. Pendidikan Islam dengan berbagai coraknya berorintasi memberikan bekal kepada manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.Oleh karena itu, tentunya perlu adanya pembaharuan konsep dan aktualisasinya dalam rangka menyambut perkembangan zaman yang selalu dinamis dan temporal, agar peserta didik tidak hanya tertuju kepada kebahagiaan hidup setelah mati, tetapi juga kebahagiaan hidup di dunia.
Namun dalam kenyataannya dalam menyambut perkembangan zaman tersebut tidaklah mudah bahkan telah muncul berbagai isu mengenai krisis pendidikan Islam dan problem yang lain yang sangat mendesak untuk dipecahkan. Inilah salah satu penyebab yang menuntut perlu adanya pembaharuan dalam hal pendidikan dan segala hal yang terkait dengan kehidupan umat Islam hingga seluruh manusia. Dewasa ini, pendidikan Islam sedang menghadapi tantangan yang sangat berat seiring dengan datangnya era globalisasi dan informasi. Tidak dapat dipungkiri betapa pengaruh Barat pada dunia Islam sangat mempengaruhi alur perjalanan kaum muslim terutama dalam bidang Pendidikan. Sistem pendidikan yang ada antara tradisional-modern telah membuat kejatuhan umat Islam. Jika hal tersebut dibiarkan maka dapat menggagalkan dan mendangkalkan perjuangan umat Islam dalam rangka menjalankan amanah yang diberikan Allah yaitu manusia disamping sebagai hamba Allah juga sebagai khalifah di muka bumi.
Oleh sebab itu, jika umat Islam ingin kembali bangkit dan memegang andil besar dalam sejarah sebagaimana kejayaannya, sangat ditentukan sejauh mana kemampuannya mengatasi persoalan pendidikan yang sedang dialaminya. Berdasarkan fakta inilah para tokoh pemikir dan pembaharuan Islam mulai muncul dan bahkan bekerja sama merumuskan strategi Islamisasi ilmu dalam bentuk kurikulum pendidikan untuk umat Islam yang dikenal sebagai tokoh filosof pendidikan Islam. Salah diantaranya yang akan dibahas dalam makalah ini adalah Naquib al-Attas dan Hasan al-Bana.


1
 
 


B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana biografi Naquib al-Attas dan Hasan al-Bana?
2.      Bagiamana pemikiran Islam Naquib al-Attas dan Hasan al-Bana?
3.      Bagaimana aktualisasi kedua tokoh tersebut dalam pendidikan Islam ?

C.    Tujuan Makalah
1.      Untuk mengetahui biografi Naquib al-Attas dan Hasan al-Bana.
2.      Untuk mengetahui pemikiran Islam Naquib al-Attas dan Hasan al-Bana.
3.      Untuk mengetahui aktualisasi kedua tokoh tersebut dalam pendidikan Islam.
























2
 
 


PEMBAHASAN

SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS
A.    Biografi Naquib al-Attas
Syed Muhammad Naquid al-Attas dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 5 September 1931 ketika Indonesia di bawah kolonialisme Belanda.[1] Kedua orangtua al-Attas merupakan orang-orang yang berdarah biru, ibunya berasal dari Bogor keturunan bangsawan Sunda ada ayahnya tergolong bangsawan di Johor[2]. Syed M. Naquib al-Attas adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya bernama Syed Husein, seorang sosiologi dan mantan wakil rektor Universitas Malaya, sedangkan adiknya bernama Syed Zaid, seorang insyinyur kimia dan mantan dosen Institut Teknologi MARA.[3]
Al-Attas merupakan bibit unggul dalam percaturan perkembangan intelektual Islam di Indonesia dan Malaysia. Faktor intern keluarga al Attas yang membentuk karakter dasar dalam dirinya. Bimbingan orangtua selama 5 tahun merupakan penanaman sifat dasar bagi kelanjutan hidupnya. Orang tuanya yang sangat religius memberikan pendidikan dasar Islam yang kuat.
3
 
Ketika beliau berusia 5 tahun, ia diajak oleh orangtuanya migrasi ke Malaysia. Al-Attas dimasukkan dalam dasar pendidikan Ngee Heng Primary School (1936-1941)[4]. Melihat perkembangan yang tidak menguntungkan yakni ketika Jepang menguasai Malaysia, Al-Attas dan keluarganya pindah ke Indonesia. Kemudian al-Attas melanjutkan pendidikannya di Indonesia di sekolah ‘urwah al wusqa, Sukabumi selama 5 tahun[5]. Sebuah lembaga pendidikan yang menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar[6]. Pada tahun 1946, al-Attas kembali ke Johor untuk merampungkan pendidikan yang selanjutnya, pertama di Bukit Zahrah School kemudian English Colege (1946-1951). Setelah selesai menuntut ilmu di Sukabumi, al-Attas memasuki dunia militer, pertama di Eton Hall, Chester, Wales, kemudian di Royal Military Academy, Sandhurst, Inggris (1952-1955).[7]
Pada tahun 1960 al-Attas mendapatan beasiswa untuk belajar di Institut of Islamic Studies,Universitas McGill, Montreal, yang didirikan oleh Wildfred Cantwell Smith. Disinilah di berkenalan dengan beberapa sarjana dan intelektual terkenal, seperti Sir Hamilton Gibb (Ingggris), Fazlur Rahman (Pakistan), Thoshihiko Izutsu (Jepang) dan Seyyed Hossein Nasr (Iran). Al-Attas mendapatkan gelar Master of Art (M.A) dari universitas McGill pada tahun1962 setelah tesisnya yang berjudul Raniry and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh lulus dengan nilai yang sangat memuaskan.[8] Salah satu alasannya adalah ia ingin membuktikan bahwa Islamisasi yang berkembang di kawasan tersebut bukan dilaksanakan oleh Kolonial Belanda, melainkan murni dari upaya umat Islam sendiri.[9]
Setahun kemudian al-Attas pindah ke SOAS (School of Oriental an African Studies), Universitas London, untuk meneruskan pendidikan doktoralnya. Pada tahun 1965 beliau mendapatkan gelar Ph. D setelah dua jilid disertasi doktoralnya yang berjudul the Myticism of Hamzah Fanshuri lulus dengan nilai yang sangat memuaskan.[10] Salah satu pengaruh terbesar dalam diri al-Attas adalah asumsi yang mengatakan bahwa terdapat integritas antara realitias metafisis, kosmologi dan psikologi.[11]
Al-Attas kembali ke Malaysia pada tahun 1965, ia termasuk orang pertama yang mendapatkan gelar (Doctor of Philosopy), beliau dilantik menjadi ketua jurusan Sastra di Fakultas Kajian Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur. Pada tahun 1968-1970, dia dipercaya untuk menjabat sebagai Dekan Fakultas Kajian Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur. Ia sering mendapatkan penghargaan internasional, baik dari para sarjana orientalis maupun dari para pakar peradaban Islam dan Melayu. [12]



B.     Pemikiran Naquib al-Attas Tentang Pendidikan
Paradigma pemikiran al-Attas bila dikaji secara historis merupakan sebuah pemikiran yang berawal dari dunia metafisis kemudian ke dunia kosmologis dan bermuara pada dunia psikologis. Pemikiran al-Attas berawal dari keprihatinannya terhadap penyempitan makna terhadap istilah-istilah ilmiah Islam yang disebabkan oleh upaya westernisasi, mitologis, pemasukkan hal-hal yang gaib (magis) dan sekularisasi.[13] Untuk menanggulangi hal tersebut dan bahkan mengembalikannya pada makna yang sebenarnya, maka al-Attas menawarkan tentang pendidikan dalam Islam yang meliputi: konsep ta’dib, dan peranan pendidik serta peserta didik, peranan bahasa, metode pendidikan dan terakhir kurikulum (materi) serta sistem pendidikan dalam Islam.[14] Berikut akan diuraikan pemikiran M. Naquib al-Attas dalam Iqbal sebagaimana berikut[15]:
1.      Konsep Ta’dib
Kata ta’dib dalam terminologi al-Attas secara sederhana adalah sebagai suatu usaha peresapan (instilling) dan penanaman (inculcation) adab pada diri manusia (dalam konteks pendidikan disebut peserta didik) dalam pendidikan. Kemudian dengan begitu adab dapat diartikan sebagai content atau kandungan yang harus ditanamkan dalam proses pendidikan Islam.
Al-Attas jugamengatakan bahwa Adab dapat diartikan sebagai masyhad (spectacle atau lukisan) keadilan yang dicerminkan oleh kearifan (wisdom), ini adalah pengakuan atas berbagai hirerarkhi (maratib) dalam tata tingkat wujud (being), eksistensi, pengetahuan dan perbuatan seiring yang sesuai dengan pengakuan itu. Adab berarti pula discipline of body, mind and soul.
Dalam arti yang luas al-Attas memberikan definisi adab sebagai: recognition and acknowledgementof the reality that knowledge and being are ordered hierarchically according to their and to one’s physical, intellectual and spiritual capacities and potentials. Pengenalan dan pengakuan terhadap realitas bahwasanya ilmu (pengetahuan) dan segala sesuatu yang wujud yang ada terdiri dari hierarkhi yang sesuai dengan kategori-kategori dan tingkatan-tingkatannya, dan bahwa seseorang itu memiliki tempatnya masing-masing dalam hubungannya dengan realitas serta kapasitas, potensi fisik, intelektual dan spiritualnya.
Pentingnya makna adab dan keterkaitannya dengan pendidikan manusia yang baik akan semakin terasa ketika disadarinya bahwasannya pengenalan, meliputi ilmu dan pengakuan, tindakan, tentang tempat yang tepat, sangat berhubungan dengan kata-kata kunci lainnya dalam pandangan hidup Islam, seperti hikmah (kebijksanaan) dan adl (keadilan), realitas dan kebenaran (haqq). Realitas dan kebenaran itu sendiri dipahami memiliki korespondensi dan koherensi dengan tempat yang tepat. Selanjutnya menurut al-Attas pendidikan adalah peresapan atau penyemaian (instilling) dan penanaman (inculnation) adab dalam diri seseorang ini disebut ta’dib.
Adab menurut al-Attas sendiri sudah melebur secara konseptual dengan ilmu dan amal. Al-Attas tidak setuju dengan adanya kompromis: “arti pendidikan secara keseluruhan terdapat dalam konotasi istilah tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib yang dipakai secara bersamaan. Menurutnya al-Attas, jika benar-benar dipahami dan dijelaskan dengan baik, konsep ta’dib adalah konsep yang paling tepat untuk pendidikan dalam Islam, bukannya tarbiyah ataupun ta’lim sebagai mana yang dipakai pada masa itu. Beliau juga menjelaskan bahwa struktur konsep ta’dib sudah mencakup unsur ilmu (‘ilm), pengajaran (ta’lim) dan tarbiyah (pemahaman) sehingga tidak perlu lagi dikatakan konsep pendidikan dalam Islam adalah sebagaimana yang terdapat dalam trilogi yakni tarbiyah, ta’lim, ta’dib.
M. Naquib al-Attas menolak salah satu bahkan kedua istilah (ta’lim dan tarbiyah ) disebabkan karena istilah tersebut menunjukkan ketidaksesuaian (irrelevansi) makna. Beliau menolak tarbiyah karena istilah ini hanya menyinggung aspek fisikal dalam mengembangkan tanam-tanaman danterbatas pada aspek fisikal dan emosional dalam pertumbuhan dan perkembangan binatang dan manusia. Pendapat ini nampaknya senada oleh pendapat Ibnu Miskawaih bahwa istilah ta’dib menunjukkan proses pendidikan intelektual, spiritual dan sosial, baik bagi anak muda maupun orang dewasa, sedangkan tarbiyah dipakai untuk mengajari binatang. Oleh karena itu tarbiyah hanya berkaitan dengan pengembangan fisikal dan emosional manusia.
Al-Attas juga mengingatkan akibat yang diterima sebagai konsekuensi logis jika tidak diterapkannya konsep ta’dib sebagai pendidikan Islam, yakni pertama, Confusion and error in knowledge, creating the condition for. (kebingungan dan kekeliruan persepsi mengenai ilmu pengetahuan, yang selanjutnya akan menciptakan kondisi:), kedua, Loss of adab within the Comunity. The condition arising out of (1) and (2) is: (Ketiadan adab dalam suatu masyarakat. Akibat yang muncul dari poin pertama dan kedua adalah:) ketiga, The rise of leaders who are not qualified for valid leadership of The Muslim Comunity; who do not possess the high moral, intellectual, spiritual satndars high required for Islamic leadership who perpetuate the condition in (1) above and ensure the continued control over the affais of the Comunity by leaders like them who dominate in all fields (Munculnya pemimpin-pemimpin yang tidak memenuhi syarat kepemimpinan yang absah dalam umat Islam, yang tidak memiliki standart moral, intelektual dan spiritual yang tinggi yang dibutuhkan bagi kepemimpinan umat Islam. Mereka akan mempertahankan kondisi yang disebutkan dalam poin pertama di atas dan akan terus mengontrol permasalahan-permasalahan sosial-kemasyarakatan melalui tangan para pemimpin lain yang berwatak sama dengan mereka dan mendominasi berbagai sektor kehidupan).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan dan kita pahami bahwa dalam konsep pendidikan M. Naquib al-Attas, beliau lebih menekankan konsep ta’dib  pada proses pendidikan manusia, yakni berupa pengenalan, penyadaran kepada manusia terhadap posisinya dalam tatanan kehidupan.  Penekanan ta’dib ini dimaksudkan agar ilmu yang diperoleh dapat diamalkan secara baik dan tidak disalahgunakan menurut kehendak bebas pemilik ilmu, sebab ilmu tidaklah bebas nilai (value free) tetapi sarat nilai (value laden), yakni nilai-nilai Islami yang mengharuskan pemiliknya untuk mengamalkan demi kepentingan dan kemaslahatan baik untuk dirinya, keluarganya, lingkungan, masyarakat, agama, bangsa dan negara.
2.      Dasar dan Peranan Pendidik serta Peserta Didik dalam Pendidikan
M. Naquib al-Attas mengatakan bahwa otoritas tertinggi dalam pendidikan Islam adalah al-Qur’an dan as-Sunnah atau Hadits Nabi, yang diteruskan oleh para sahabat dan para ilmuwan yang benar-benar mengikuti sunnahnya, memiliki derajat pengetahuan, kebijaksanaan dan pengalaman spiritual, yang selalu mengaplikasikan agama pada tingkat ihsan.
Peranan guru (pendidik) dalam proses pendidikan sangat urgent. Sebelum belajar kepada seorang guru, peserta didik harus mempersiapkan spiritualnya dulu seperti, niat yang ikhlas, sabar dan jujur sehingga kualitas imannya akan menjadi lebih kuat. Beliau juga mengatakan bahwa peserta didik harus menginternalisasikan adab dan mengaplikasikan sikap tersebut, sebagaimana diungkapkannya dalam bukunya Risalah dikutip oleh Iqbal dari Wan Mohd Wan Daud: “Ilmu pengtahuan harus dikuasai dengan pendekatan yang berlandaskan sikap ikhlas, hormat dan sederhana terhadapnya. Pengetahuan tidak dapat dikuasai dengan tergesa-gesa seakan-akan penetahuan adalah suatu yang terbuka bagi siapa saja yang menguasainya tanpa terlebih dahulu memilik pada arah dantujuan, kemampuan dan persiapan.
Peserta didik ahrus menghormati danpercaya pada guru, sabar dengan kekurangan gurunya menempatkannya dalam perspektifyang wajar. Peserta didik harus memahami dengan benar isi dan pesan yang disampaikan oleh gurunya dan mengaplikasikannya secara tepat dalam kehidupan pribadi dan sosial.
3.      Peranan Bahasa
Al-Attas mengatakan, berita yang benar  (khabar shadiq) adalah salah satu sarana untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, disamping panca indera (al-Hawas al-Khamsah),  common sense (al-Aql as-Salim), dan intuisi (ilham). Komunikasi antara berita yang benar dan interpretasi sumber tulisan ataupun verbal dari semua saluran ilmu lainnya hanya akan membuahkan hasil jika kedua belah pihak yang terlibat memahami makna yang benar dari pesan yang disampaikan. Oleh sebab itu, al-Attas memusatkan perhatian pada misteri bahasa, eterutama bahasa Arab dan bahasa Islam serta bahasa asing pentinglainnya, sebagai alat transmisi dan pencairan ilmu pengetahuan dan kebenaran.
4.      Metode Pendidikan
Penyakit yang melanda dunia Islam adalah symptom dikhotomi yang secara langsung ataupun tidak langsung dipengaruhi oleh dunia Barat. Padahal sebelumnya dalam dunia Islam tidak dikenal yang namanya dikhotomi. Untuk menyelesaikan problematika dikhotomi itu, maka diperlukan suatu metode yaitu metode tauhid. Metode ini diformulasikan untuk menekankan bahwa tidak ada dikhotomi misalnya, antara apa yang dianggap teori dan praktik. Jika benar-benar mengetahui suatu teori, seseorang mestinya mampu mengaplikasikannya dalam praktik. Tidak ada pemisahan antara rasionalisme, atau empirisme dengan intuisisme.
Metode yang digunakan oleh al-Attas adalah metafora dan cerita sebagai contoh atau perumpamaan sebuah metode yang juga banyak digunakana dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Beliau mengungkapkan kisah ini untuk mengingatkan umat Islam bahwa mereka hendaknya mengembangkan diri secara terus menerus karena merekalah sesungguhnya yang menampilkan wajah Islam. Sebab, beberapa Muslim yang  jahil hanya akan menilai penampila lahiriah, yang dalam perspektif mereka, kurang atau bahwa meninggalkan agama ini dan menghinanya.
5.      Kurikulum dan Sistem Pendidikan dalam Islam
Kajian al-Attas mengenai kurikulum pendidikan dalam Islam berangkat dari pandangan bahwa manusia itu bersifat dualistik. Pertama, yang memenuhi kebutuhannyayang berdimensi permanen dan spiritual; dan kedua, yang memenuhi kebutuhan material dan emosional.  Untuk mengetahui kurikulum pendidikan dan sistem pendidikan yang dikehendaki oleh al-Attas maka terlebih dahulu harus mengetahui pembagian dan hierarkhi ilmu pengetahuan yang diformulasikan al-Attas.
Al-Attas berpandangan bahhwa manusia terdiri dari dua unsur, jasmani dan ruhani, maka ilmu juga terbagi ke dalam 2 kategori, yaitu pertama, ilmu yang diberikan Allah (melalui wahyu) dan kedua, ilmu capaian (yang diperoleh dari usaha  pengamatan, pengalaman, dan riset manusia). Namun pada hakikatnya dalam Islam ilmu itu hanya satu sumber, semua ilmu datang dari Allah. Perbedaannya pada cara kedatangannya serta indera yang menerimanya.
Dalam sistem pendidikan 3 tahap (rendah, menengah, dan tinggi) ilmu fardhu’ain harus diajarkan tidak hanya pada tingkat rendah, malinkan juga pada tingkat menengah dan tingkat tinggi (universitas). Karena menurutnya universitas merupakan cerminan sistematisasi yang paling tinggi, maka formulasi kandungannya harus didahulukan.
C.    Aktualisasinya Dalam Pendidikan Islam
Pendidikan menurut al-Attas adalah “penyemaian dan penanaman adab dalam diri seseorang ini disebut ta’dib . Oleh karena itu tujuan diadakannya proses pendidikan adalah menyemaikan dan menanamkan adab ke dalam diri seorang individu, sehingga seseorang tersebut mempunyai adab. Syed Muhammad Naquib Al-Attas memberikan kriteria manusia yang beradab yang menuntut hadirnya adab dalam berbagai tingkat pengalaman hidup manusia. Pertama, mengakui bahwa seseorang – dirinya sendiri itu – terdiri dari dua unsur yaitu akal dan sifat-sifat kebinatangan, dan ketika akalnya bisa mengontrol dan menguasai sifat-sifat kebinatangannya, maka orang itu telah menjadi manusia yang ber-adab karena telah berlaku adil terhadap diri sendiri. Itulah awal mula adab hadir terhadapdiri sendiri.
Kedua, menerapkan atau memenuhi norma-norma etika dalam tata karma sosial dan berada pada posisinya yang benar sesuai dengan kedudukannya baik dengan keluarga maupun dengan masyarakat. Ketiga, menerapkan disiplin intelektual yang mengenal dan mengakui adanya hierarkhi ilmu berdasarkan kriteria tingkat-tingkat keluhuran dan kemuliaan, yang memungkinkannya mengenal dan mengakui bahasa seseorang yang pengetahuannya berdasarkan wakhyu itu jauh lebih luhur dan mulia dari pada ilmu pengetahuannya berdasarkan akal.
Keempat, Memanfaatkan dan meletakkan segala sesuatu yang ada di alam semseta ini pada tempatnya yang benar, baik dalam konteksnya sebagai tanda-tanda Tuhan. Kelima, Mengenal dan mengakui adanya tempat yang benar dan tepat untuk setiap kata, baik dalam tulisan maupun ucapan sehingga tidak menimbulkan kerancuan makna, bunyi dan konsep. Keenam, seseorang itu telah berhasil menghadirkan adab kedalam alam spiritual. Jadi dalam hal ini Adab adalah pengenalan dan pengakuan terhadap tingkat-tingkat keluhuran yang menjadi sifat alam spiritual; pengenalan dan pengakuan terhadap berbagai maqam spiritual berdasarkab ibadah; pengenalan dan pengakuan terhadap disiplin spiritual yang dengan benar telah menyerahkan fisik atau jiwa kebinatangn pada spiritual ataupun akal.[16]
Tujuan utama pendidikan Islam adalah manusia ber-adab. Namun melihat fenomena yang terjadi di dunia sekarang, dimana banyak manusia yang tidak ber-adab. Menurut al-Attas hal ini disebabkan oleh aspek eksternal dan internal; aspek eksternal disebabkan oleh tantangan religio-kultral dan sosio-politis dari kultur dan kebudayaan Barat; dan aspek internalnya bisa dilihat dari fenomena; kebingungan dan salah pemimpin-pemimpin yang tidak pantas memikul tanggung jawab.
Pertama yang harus diatasi dalam hal ini adalah ketiadaan adab, karena kebingungan dan kesalahan memahami ilmu serta munculnya pemimpin buruk adalah berasal tidak adanya adab. Menurut al-Attas sistem pendidikan yang sempurna adalah yang merefleksikan sistem yang ada pada manusia karena di dalam diri manusia ini ada sistem yang teratur dan rapi.
Berkaitan dengan ilmu fardhu kifayah, al-Attas berpendapat bahwa ilmu ini harus melalui proses Islamisasi, yakni pembebasan dari magis, mitos, animistik, tradisi kultur-nasional dan kontrol sekuler yang menguasai pikiran dan bahasanya. Salah satu caranya adalah penggunaan elemen-elemen dan istilah-istilah kunci harus berdasarkan cara pandang Isalam, utamanya berkenaan dengan Sain Humaniora. Istilah yang digunakan adalah pengisolasian setiao cabang ilmu rasional, intelektual, dan filsafat dari istilah-istilah kunci asing.
Pendidikan merupakan suatu prses panjang untuk mengaktualkan seluruh pontensi diri manusia sehingga potensi kemanusiaannya menjadi aktual. Sistem menumbuhkembangkan potensi diriitu telah ditawarkan secara sempurna dalam sistem ajaran Islam, ini yang pada akhirnya menjadikan manusia dapat menjalankan tugas yang telah diamanahkan Allah. Karena manusia yang baik adalah individu yang sadar sepenuhnya akan individualitasnyadan hubugannya yang tepat dengan diri, Tuhan, masayarakt dan alam sekitarnya.







HASAN AL-BANA
A.    Biografi Hasan al-Bana
Hasan al-Bana dilahirkan di desa Mahmudiyah kawasan Buhairah, Mesir tahun 1906 M. Sejak kecil al-Bana sudah menunjukkan tanda-tanda kecemerlangan otaknya. Pada masa kecil, Hasan al-Bana di didik langsung oleh ayahnya Syaikh Ahmad bin Abdurrahman bin Muhammad al-Bana as-Sadati yang mengajarkan al-Qur’an, al-Hadits, fiqih, bahasa dan tasawuf.[17] Di usia 12 tahun, Hasan kecil telah mengahafal separuh isi al-Qur’an. Ayahnya terus menerus memotivasi al-Bana agar melengkapi hafalannya. Sejak itu dia mendisiplinkan kegiatannya menjadi empat tahap; siang hari dipergunakannya untuk belajar di sekolah, kemudian belajar membuat dan memperbaiki jam dengan orangtuanya hingga sore, sore hingga menjelang tidur digunakannya untuk mengulang pelajaran sekolah, sementara membaca dan mengulang hafalan al-Qur’an dia lakukan selesai shalat subuh.  Pada usia 14 tahun Hasan al-Bana telah menghafal seluruh al-Qur’an.[18]
Hasan al-Bana lulus sekolah dengan predikat terbaik di sekolahnya dan kelima terbaik di seluruh Mesir. Pada usia 16 tahun dia telah menjadi mahasiswa di perguruan tinggi Dar al-Ulum, Universitas Kairo. Selain prestasinya di bidang akademik, dia juga memiliki bakat leadership yang cemerlang. Semenjak mudanya Hasan al-Bana selalu terpilih untuk menjadi ketua organisasi siswa di sekolahnya. Pada usia 21 tahun, al-Bana menamatkan studinya di Dar al-Ulum dan ditunjuk menjadi guru di Isma’iliyah.[19]
Dari latar belakang pendidikan tersebut tidaklah mengherankan jika Hasan al-Bana kemudian tampil sebagai sosok da’i, pejuang, propagandis dan politikus yang gigih dalam memperjuangkan cita-citanya. Keterpaduan moral dan intelektual pada diri Hasan al-Bana itu menjadikannya sebagai orang yang berkepribadian luhur, sehingga kepribadian tersebut benar-benar dapat menyatu sekaligus mempengaruhi para pengikutnya.
Hasan al-Bana mendirikan sebuah organisasi yang dikenal dengan nama Ikhwan al-Muslimin pada tahun 1923. Pada awal berdirinya Ikhwan al-Muslimin beranggotakan 100 orang yang dipilih langsung oleh al-Banna.[20] Sebagai sebuah organisasi sosial dan kemasyarakatan, kehadiran Ikhwan al-Muslimin tidak dapat dilepaskan dari perkembangan masyarakat yang terjadi di Mesir pada waktu itu. Ikhwan al-Muslimin muncul sebagai reaksi terhadap sosio moral di Kairo dimana masyarakatnya pada saat itu kurang peduli lagi terhadap nilai-nilai Islam. Para ulama di Mesir dinilai kurang lagi mampu berbuat untuk menghentikan tingkah laku kaum modernis kecuali hanya melemparkan sumpah serapah terhadap berbagai masalah bid’ah. Akibatnya, kehidupan keagamaan menjadi cenderung formalis dan penuh kemunafikan. Sementara praktik mistik membawa masyarakat kepada kehidupan tahayul dan memadamkan sifat orisinal Islam yang dikenal kreatif.[21]
Faktor lain yang melatarbelakangi munculnya Ikhwan al-Muslimin adalah masalah kekacauan dalam bidang pendidikan. Berbagai sumber mencatat, bahwa dalam sistem pendidikan terjadi dualisme. Di satu pihak sekolah-sekolah pemerintah hanya mementingkan pengetahuan umum dan mengabaikan masyarakat, sedangkan di pihak lain sekolah agama melupakan pengetahuan umum. Konsep Ikhwan al-Muslimin ditujukan bagi pemecahan berbagai masalah sosial yang dihadapi. Dengan kata lain, Ikhwan al-Muslimin melihat pendidikan sebagai alat untuk membantu masyarakat dalam menghadapi berbagai masalah dalam kehidupan.[22]
B.     Pemikiran Hasan al-Bana dalam Pendidikan
Hasan al-Banna adalah seorang tokoh pembaru atau modernis dalam dunia Islam. Beliau dikenal sebagai tokoh pembaru, tidak hanya dalam bidang pendidikan, tetapi juga dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan kemasyarakatan. Hasan Al-Banna memiliki gagasan bahwa kejumudan umat Islam disebabkan kesalahan dalam bidang pendidikan. Menurut Hasan al-Banna, Allah telah menjadikan akal manusia sebagai faktor yang dominan dan untuk itu manusia diperintahkan untuk meneliti, menganalisa, dan berpikir.
1.      Sistem/Konsep Pendidikan
Sistem pendidikan yang diterapkan Hasan Al Banna dalam Madrasah Hasan Al Banna berbeda kontras dengan sistem pendidikan yang dibangun oleh dasar individualis maupun sosialis komunis. Bahkan pendidikan Al Banna dalam masyarakat yang diatur oleh Al-Qur‟an dan di dalamnya dominan ajaran-ajaran Islam berbeda pula dengan pendidikan muslim yang di dalamnya terdapat ide sekuler. Sistem pendidikan yang dibangun Hasan Al Banna mengacu kepada tujuan yang jelas, langkah-langkah yang nyata, sumber yang terang yang digali dari ajaran Islam kaffah bukan dari ajaran yang lainnya.[23]
Konsep pendidikan Hasan Al-Banna diarahkan pada pemecahan permasalahan yang muncul. Di antara pemikiran Hasan Al-Banna dalam hal ini berkaitan dengan upaya mengintegrasikan sistem pendidikan yang dikotomis di antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Berangkat dari maksud tersebut, Hasan Al-Banna melalui organisasi yang didirikannya berupaya memberi nilai agama pada pengetahuan umum dan memberi motivasi dan peningkatan terhadap pengetahuan dan amaliah agama sehingga sikap keagamaan tampil lebih aktual. Berkaitan dengan hal tersebut, Hasan Al-Banna berusaha memperbarui makna iman yang dianggap telah lapuk oleh peradaban modern, yaitu dengan cara kembali kepada sumber-sumber ajaran yang masih orisinal.[24]
Tiang pendidikan berdasarkan ketuhanan ialah hati yang hidup yang berhubungan dengan Allah Swt., meyakini pertemuan dengan-Nya dan hisab-Nya, mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan siksa-Nya. Hakikat manusia bukanlah terletak pada bentuk fisiknya, melainkan pada jiwa yang bersemi pada fisik yang digerakkan-Nya. Hakikat itu adalah segumpal darah (mudghah). Bila ia baik maka baiklah hidup seluruhnya, dan bila ia rusak maka rusaklah tubuh seluruhnya, itulah hati. Hati adalah suatu wujud yang dapat menghubungkan manusia dengan rahasia hidup dan rahasia wujud dan mengangkatnya dari alam bumi ke alam yang tinggi, dari makhluk kepada Khaliq. Oleh sebab itu, di antara tujuan spiritual Ikhwanul Muslimin adalah menghidupkan hati supaya tidak mati, menghaluskannya supaya tidak keras.
Al-Banna  membuat  program  ibadah  praktis  yang  diamalkan oleh jamaahnya, baik secara perorangan maupun secara berjamaah. Di antara program tersebut adalah disiplin dalam bermujahadah, baik melalui wirid Al-Quran maupun wirid dzikir yang ma’tsur dengan harapan dapat mengikat perasaan selalu bersama dengan Allah. Di samping itu, Al-Banna menganjurkan untuk melaksanakan shalat dan puasa sesuai dengan hadis yang jelas kesahihannya. Melalui lembaga pendidikan spiritual Ikhwanul Muslimin (ma’had tarbiyah ruhiyah Ikhwanul Muslimin),  Al-Banna  menjelaskan  beberapa  petunjuk tentang shalat lail dan memotivasi anggotanya untuk melaksanakannya.
2.      Ruang Lingkup Pendidikan Islam
Pada  dasarnya  Madrasah  Hasan  Al-Banna  berorientasi  pada pengembangan seluruh potensi yang ada pada diri manusia, sebab Islam sangat menaruh perhatian penciptaan manusia yang utuh, baik dari segi jasmani dan ruhani. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut, Al-Banna menetapkan beberapa aspek sebagai bahan harapan. Aspek-aspek pendidikan dalam sistem pendidikan madrasah Hasan Al-Banna adalah Intelegensi ( akal), pendidikan moral (tarbiyah Khuluqiyah), pendidikan jasmani dan ruhani, pendidikan jihad, pendidikan politik, dan aspek pendidikan sosial.[25]
Pendidikan intelektual atau pengembangan wawasan (tarbiyah aqliyah wa ma’rifatiyah) adalah sesuatu yang ingin dicapai oleh Ikhwan. Perhatian mereka pada aspek ini adalah berangkat dari keyakinan bahwa Islam tidak membekukan pikiran tetapi justru membebaskan dan mendorong manusia untuk melakukan pengamatan dan observasi alam. Tidak dibedakan antara ilmu dunia dan ilmu agama karena ilmu pengetahuan adalah salah satu  spesifikasi  manusia. Hasan  Al-Banna  memandang  bahwa  pengembangan  akal merupakan kebutuhan pokok bagi setiap Muslim yang dapat menunjang keberhasilan keyakinan. Karena dengan pengetahuan akal akan menjadi paham  atas  sesuatu  yang  diyakini.  Menurutnya,  seorang  Muslim harus mempunyai bukti-bukti tentang Tuhannya agar mendapatkan keyakinan yang kuat. Islam tidak membenarkan penganutnya menjadi muqallid. Dalam beriman seseorang dianjurkan untuk berpikir sendiri, merenung, dan memahami. Hal ini dapat memperkuat keyakinannya. Hasan  Al-Banna  menempatkan  pembentukan  akal  sebagai  prinsip utama pendidikan dengan didasarkan pada pemahaman Al-Quran yang  menempatkan  akal  (ilmu)  lebih  dahulu  daripada  iman  dan taat.
Aspek pendidikan moral adalah salah satu aspek yang terpenting pada madrasah Hasan Al-Banna, sebab semua bentuk pendidikan mengandung aktivitas moral, baik secara tersirat maupun tersurat. Al-Banna memberikan pemikiran yang besar terhadap pendidikan akhlak untuk para anggotanya karena Nabi Muhammad sendiri sangat memerhatikan pada masalah akhlak.Dalam mendukung perjuangannya, Al-Banna memprioritaskan pembinaan akhlak dengan penanaman sifat sabar, cita-cita yang luhur dan pengorbanan. Karena keempat sifat tersebut merupakan bekal perjuangan. Mengingat betapa pentingnya pendidikan akhlak, Al-Banna sering kali menyampaikannya baik melalui madrasah, melalui kehidupan sehari-hari, media cetak, masjid-masjid, maupun sarana lainnya. Karena kekuatan akan lebih mudah dibangun jika dilandasi dengan akhlak yang mulia. Begitu pula sebaliknya, bangunan akan mudah runtuh jika dilandasi dengan akhlak yang tercela. Dalam pembinaan akhlak, Al-Banna mendirikan madrasah khusus pada setiap hari Jumat.
Di  samping pembinaan aspek ruhani, Al-Banna juga tidak mengabaikan aspek jasmani. Sebab, tubuh adalah sarana manusia untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban agama dan dunia. Berikut ini di antara tujuan dari pendidikan jasmani di madrasah Al-Banna. (a) Kesehatan badan dan terhindar dari penyakit. Kesehatan memiliki pengaruh yang besar terhadap jiwa dan akal. Karena itu, dapat dikatakan bahwa akal yang sehat  berada  pada  tubuh  yang  sehat  pula. Tubuh  yang  sakit  tidak akan  mampu  melaksanakan  tugas-tugasnya  secara  optimal.  Dari itu  perlu  adanya  perhatian  terhadap  pemeliharaan  kesehatan  dan kebersihan. (b) Kekuatan jasmani dan  keterampilan.  Kesehatan  jasmani  perlu  dibina  sehingga  dapat mewujudkan kekuatan dan keterampilan. Hal ini perlu diperhatikan mengingat orang mukmin yang kuat lebih dapat memberikan manfaat kepada orang lain dibanding dengan orang lemah. (c) Keuletan dan ketahanan tubuh. Dalam rangka mewujudkan beberapa tujuan tersebut, Hasan Al-Banna membina  jasmani  anggotanya,  di  antaranya  dengan  mendirikan klub-klub olahraga, kepramukaan, dan lain-lain. Dengan maksud agar setiap anggota sanggup menghadapi setiap situasi, sebab sudah terlatih. Pendidikan yang sewaktu-waktu keras memiliki pengaruh yang besar terhadap kesiapan fisik dan mental. Seperti ketika harus berjihad fi sabilillah dengan mengangkat senjata, membutuhkan kekuatan jasmani dan kekuatan khusus. Dari sini dapat disimpulkan bahwa pendidikan jasmani  madrasah  Hasan  Al-Banna  memiliki  keterkaitan  langsung dengan partisipasi politik Ikhwanul Muslimin.
Di antara aspek pendidikan Ikhwanul Muslimin yang menonjol adalah pendidikan jihad, bukan pendidikan  kemiliteran.  Sebab,  makna  jihad  lebih  luas  daripada kemiliteran. Pendidikan kemiliteran adalah disiplin dan pelatihan, sementara  jihad  mengandung  muatan  iman,  akhlak,  jiwa,  dan pengorbanan  di  samping  disiplin  dan  latihan  pula.  Pendidikan jihad  ditanamkan  Al-Banna  melalui  berbagai  macam  media,  baik pendidikan,  dakwah,  maupun  majalah  yang  difokuskan  pada pengembangan semangat jihad dan rela berkorban untuk menegakkan agama Allah, lebih lanjut untuk mempersiapkan fisik anggota Ikhwan yang  bergabung  dalam  “batalion  jihad”,  yang  telah  terlatih  dan berbekalkan senjata.Mengingat  pentingnya  jihad,  Hasan  Al-Banna  beranggapan bahwa jihad merupakan salah satu rukun baiat dengan semboyan: “Jihad itu jalan kami dan mati di jalan Allah itu adalah cita-cita luhur kami”. Dengan semboyan tersebut, anggota Ikhwan akan siap berjihad fi sabilillah kapan pun juga walaupun harus mengorbankan jiwa dan raga. Menurut Hasan Al-Banna, jihad bukan sebatas pada perang fisik melawan musuh, melainkan juga perang terhadap perilaku yang tidak dibenarkan  oleh  Al-Quran  dan  Hadis,  seperti  perilaku  bid‘ah  dan kemungkaran. Bahkan, sikap tabah dan sabar atas kepahitan dalam berdakwah juga termasuk jihad. Tingkatan jihad yang paling rendah adalah penolakan hati, sedangkan yang paling tinggi adalah berperang di jalan Allah. Adapun tingkatan jihad di antara keduanya berupa lisan dan tulisan.[26]
Dalam  madrasah  Hasan  Al-Banna,  pendidikan  politik mendapatkan perhatian yang cukup besar. Hal ini dapat diketahui dari sejarah berdirinya Ikhwanul Muslimin, bahwa di Mesir saat itu sebelum tampilnya Hasan Al-Banna, politik kurang mendapatkan perhatian umat Islam. Pengertian politik menjadi pertentangan bagaikan hitam dan putih, belum ada pemikiran bahwa keduanya dapat disatukan dan memang seharusnya demikian. Banyak pandangan yang mengatakan bahwa orang Islam haram untuk berpolitik, begitu pula sebaliknya, orang yang berpolitik tidak berkenan mencampuri soal-soal agama.Berangkat  dari  kenyataan  tersebut,  Hasan  Al-Banna  merasa terpanggil untuk dapat berjuang meluruskan persepsi yang kurang benar tersebut; yang memungkinkan pemisahan antara agama dan negara, yang berasal dari kaum imperialis dengan maksud agar umat Islam tidak memikirkan urusan dunia atau berasal dari pemikiran kaum sufi yang sebenarnya keliru. Sebab, jika kita mengaca kembali pemerintahan yang dibangun oleh Nabi Muhammad Saw. di Madinah, tiada pemisahan di antara agama dan pemerintahan. Melalui politik, suatu negara dapat mengarahkan, membimbing, dan mengembangkan kehidupan bangsa. Khususnya dalam hal pendidikan, pengarahan didasarkan atas falsafah negara yang mengikat semua sektor perkembangan bangsa dalam proses pencapaian tujuan negara.[27]
Pada madrasah Hasan Al-Banna, juga memerhatikan pentingnya pendidikan sosial,  karena  membentuk  individu  menjadi  karakter  sosial  pada dasarnya adalah proses pembebasan, yaitu pembebasan individu dari berbagai  refleksi  yang  bertentangan  dengan  kecenderungan  sosial. Hasan Al-Banna mewajibkan para anggotanya untuk berakhlak sosial, seperti al-Muakhah, al-Tafahum, dan al-Takaful. (a) al-Muakhah. Di  kalangan  ikhwan,  istilah  ini  dimaksudkan  agar  seseorang memandang  saudaranya  yang  lain  lebih  berhak  daripada  dirinya sendiri, serta berusaha untuk mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Ukhuwah merupakan salah satu dari 10 rukun baiat. (b) al-Tafahum (saling memahami). Hal ini dimaksudkan agar hubungan di antara individu dengan kelompok dibangun atas saling percaya dan saling menasihati dalam rangka kasih sayang dan saling menghormati. (c) al-Takaful,  yaitu  bahwa  semua  anggota keluarga saling membantu, dalam memenuhi kebutuhan. Sejumlah akhlak tersebut diharapkan melahirkan kuatnya pertalian dan utuhnya solidaritas sosial.
C.    Aktualisasinya dalam Pendidikan Islam
Hasan al-Bana melalui Ikhwan al-Muslimin berupaya mengintegrasikan sistem pendidikan yang dikotomis antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Melalui upaya ini dimaksudkan untuk memberi nilai agama pada pengetahuan umum dan memberi makna progressif terhadap pengetahuan dan amalan agama, sehingga sikap keagamaan tampil lebih aktual.
Upaya tersebut tampak pada bingkai pendidikan Ikhwan al-Muslimin yang berorientasi ketuhanan, universal, terpadu, seimbang dan bermuatan keteampilan yang positif dan konstruktif. Orientasi ketuhanan dalam pendidikan Islam amatlah penting dan sangat mendasar pengaruhnya terutama jika dihubungkan dengan tujuan pertama pendidikan Islam. Aspek ketuhanan atau keimanan ini tentu saja tidak hanya sebatas perkataan atau lisannya saja tetapi harus diimplementasikan dengan sikap dan praktek ibadah serta rutinitas agama yang memberi dampak positif bagi masyarakat. Sementara itu orientasi universal, terpadu dan seimbang dimaksudkan agar pendidikan Islam itu tidak hanya mementingkan satu segi tertentu saja dan tidak pula mengharuskan adanya spesialisasi yang sempit melainkan mencakup semua aspek secara terpadu dan seimbang.
Manusia terdiri dari unsur rohani, akal dan jasmani, ketiga unsur tersebut harus terpadu dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Ruh adalah alat untuk mengadakan kontak dengan Allah yang tidak terlihat dan tidak bisa diketahui materi dan cara kerjanya. Untuk mencapai tujuan penyatuan rohaniah dengan Allah manusia dianjurkan senantiasa melibatkan Allah baik pada saat berpikir, merasa, maupun berbuat. Mengenai aspek akal,  Ikhwan al-Muslimin menilai bahwa akal merupakan potensi atau kekuatan besar yang diberikan Allah kepada manusia. Menurut Ikhwan al-Muslimin, berpikir dengan menggunakan akal merupakan kegiatan mental yang bernilai ibadah. Sementara pendidikan jasmani juga tidak kalah pentingnya, karena seorang muslim haruslah menjaga kesehatan dan kebugaran jasadnya. Pendidikan jasmani ini ditujukan agar setiap Muslim berbadan sehat dan berupaya menjaga kesehatan fisik dan mentalnya, agar setiap Muslim dapat beraktivitas dengan lincah dan positif, serta mempunyai daya tahan tubuh yang senantiasa prima.






PENUTUP
SYED NAQUIB AL-ATTAS
Syed Muhammad Naquid al-Attas dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 5 September 1931. Pemikiran al-Attas berawal dari keprihatinannya terhadap penyempitan makna terhadap istilah-istilah ilmiah Islam yang disebabkan oleh upaya westernisasi, mitologis, pemasukkan hal-hal yang gaib (magis) dan sekularisasi. Untuk menanggulangi hal tersebut, maka al-Attas menawarkan tentang pendidikan dalam Islam yang meliputi: konsep ta’dib, dan peranan pendidik serta peserta didik, peranan bahasa, metode pendidikan dan terakhir kurikulum (materi) serta sistem pendidikan dalam Islam.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas memberikan kriteria manusia yang beradab; Pertama, mengakui bahwa seseorang – dirinya sendiri itu – terdiri dari dua unsur yaitu akal dan sifat-sifat kebinatangan. Kedua, menerapkan atau memenuhi norma-norma etika dalam tata karma sosial. Ketiga, menerapkan disiplin intelektual. Keempat, Memanfaatkan dan meletakkan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini pada tempatnya yang benar. Kelima, Mengenal dan mengakui adanya tempat yang benar dan tepat. Keenam, seseorang itu telah berhasil menghadirkan adab kedalam alam spiritual.
HASAN AL-BANA
Hasan al-Bana dilahirkan di desa Mahmudiyah kawasan Buhairah, Mesir tahun 1906 M. Ia merupakan tokoh pembaru baik dalam bidang pendidikan, politik, sosial, dan sebagainya. Hasan Al-Banna memiliki gagasan bahwa kejumudan umat Islam disebabkan kesalahan dalam bidang pendidikan. Menurut Hasan al-Banna, Allah telah menjadikan akal manusia sebagai faktor yang dominan dan untuk itu manusia diperintahkan untuk meneliti, menganalisa, dan berpikir.
Hasan al-Bana melalui Ikhwan al-Muslimin berupaya mengintegrasikan sistem pendidikan yang dikotomis antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Melalui upaya ini dimaksudkan untuk memberi nilai agama pada pengetahuan umum dan memberi makna progressif terhadap pengetahuan dan amalan agama, sehingga sikap keagamaan tampil lebih aktual. Upaya tersebut tampak pada bingkai pendidikan Ikhwan al-Muslimin yang berorientasi ketuhanan, universal, terpadu, seimbang dan bermuatan keteampilan yang positif dan konstruktif.

20
 
 


DAFTAR PUSTAKA
Al Banna, Muhammad. 2014. Pemikiran Hasan Al Banna  dalam Pendidikan Islam. Skripsi: Uin Syarif Hidayatullah. Jakarta.
Al-Attas, Syed Muhammad. 2001. Risalah untuk Kaum Muslimin. Kuala Lumpur: ISTAC.
Ambary, Hasan Muarif, et al. 1995. Suplemen Ensiklopedi Islam jilid 2. Jakarta: PT. Ichtiar van Hoeve.
Iqbal, Abu Muhammad. 2015. Pemikiran Pendidikan Islam: Gagasan-gagasan Besar Para Ilmuwan Muslim. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Kurniawan, Syamsul, & Erwin Mahrus. 2011. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Nata, Abuddin. 2000. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Ramayulis dan Samsul Nizar. 2011. Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan  dan Pemikiran Para Tokohnya. Jakarta: Kalam Mulia.
Sucipto, Hery. 2003. Ensiklopedia Tokoh Islam Dari Abu Bakr hingga Nasr dan Qardhawi. Bandung: PT Mizan Publika.
































 



[1] Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan  dan Pemikiran Para Tokohnya (Jakarta: Kalam Mulia, 2011), hlm. 299.
[2] Hasan Muarif Ambary, et al, Suplemen Ensiklopedi Islam jilid  (Jakarta: PT. Ichtiar van Hoeve, 1995), hlm. 78.
[3] Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam: Gagasan-gagasan Besar Para Ilmuwan Muslim (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2015), hlm. 288.
[4] Ibid.,
[5] Ramayulis dan Samsul Nizar, hlm. 299.
[6] Abu Muhammad Iqbal, hlm. 288.
[7] Ibid.,
[8] Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam: Op.Cit., hlm. 289.
[9] Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Op.Cit., hlm. 300.
[10] Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam: Op.Cit., hlm. 289.
[11] Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Op.Cit., hlm. 300.
[12] Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam: Op.Cit., hlm. 289.
[13] Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam,  Op.Cit., hlm. 304.
[14] Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam, Op.Cit., Hlm. 296.
[15] Ibid.,
[16] Syed Muhammad Al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), hlm. 155-157.
[17] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm.  180.
[18] Hery Sucipto, Ensiklopedia Tokoh Islam Dari Abu Bakr hingga Nasr dan Qardhawi (Bandung: PT Mizan Publika, 2003), hlm. 236.
[19] Ibid.,
[20] Hery Sucipto, Ensiklopedia Tokoh Islam, Op.cit., hlm 237.  
[21] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Op.cit., hlm. 181.
[22]  Ibid., hlm. 182.
[23] Muhammad Al Banna, Skripsi: Pemikiran Hasan Al Banna  dalam Pendidikan Islam (Uin Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2014), Hlm. 37.
[24] Syamsul Kurniawan & Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam  (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), Hlm.162.
[25] Syamsul Kurniawan & Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran, Op.Cit., Hlm. 163-171.
[26]Syamsul Kurniawan & Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran, Op.Cit., Hlm. 168.
[27] Syamsul Kurniawan & Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran, Op.Cit., Hlm. 269.

Comments

Popular posts from this blog

EVALUASI dan PENILAIAN dalam KURIKULUM 2013

PERMASALAHAN DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH

Aliran filsafat pendidikan modern