Penanaman Nilai Karakter ( disiplin )

KARAKTER DISIPLIN

A. PENDAHULUAN
Kata karakter ahir-akhir ini sering terdengar di telinga kita. Pada saat sekarang banyak kalangan  yang mengkhawatirkan karakter anak muda yang cenderung telah kehilangan adat ketimurannya. Perkelahian antar pelajar, kasus narkoba, balapan liar, kejahatan seksual, dan bullying, adalah sederet kasus yang sering menimpa remaja. Orang tua semakin merasakan bagaimana anak mereka semakin nakal, tidak mudah dinasehati, dan semakin terkena pengaruh negatif dari lingkungan sekitarnya. Kalangan guru juga merasakan hal yang sama. Banyak siswa yang berlatar belakang keluarga broken home  dan single parent. Kurangnya perhatian orang tua menjadi salah satu sebab kurangnya kesadaran moral . Anak didik sekarang dirasakan banyak orang tidak sama dengan anak didik dulu.
Pendidikan karakter sangat dibutuhkan dalam masa sekarang ini. Pada dasarnya, pendidikan karakter sudah termasuk dalam pendidikan itu sendiri. Tujuan utama pendidikan adalah menjadikan siswa menjadi cerdas dan memiki karakter.yang baik. Cerdas dan karakter baik adalah dua hal yang berbeda, maka Pemerintah telah membuat suatu kebijakan mengenai pendidikan karakter yang sengaja dibuat sebagai bagian dari pendidikan sekolah.
Salah satu yang temasuk dalam cakupan karakter adalah mengenai disiplin. Dalam makalah ini membicarakan tentang apa yang dimaksud pendidikan karakter ? apa yang dimaksud dengan disiplin ? bagaimana cara membentuk sikap disiplin anak di rumah oleh orang tua ? serta bagaimana cara membentuk sikap disiplin siswa di sekolah ?

B. PENGERTIAN PENDIDIKAN KARAKTER
Karakter merupakan tipologi kepribadian, perangai, atau ciri khas individu yang relatif stabil. Dalam hal ini karakter dipahami sebagai pendekatan psikologis. Karakter berhubungan dengan pertumbuhan dimensi kepribadian individu.
Aristoteles, seorang fiosof Yunani mendefinisikan karakter yang baik sebagai kehidupan dengan melakukan tindakan-tindakan yang benar sehubungan dengan diri dan orang lain. [1] Kehidupan yang mulia termasuk kebaikan yang mengarah pada  diri sendiri ( seperti tawadhu’ , rendah hati, tanggung jawab, tawakkal dan sabar) dan yang mengarah pada orang lain ( seperti sopan, ramah, dermawan, toleransi, dan belas kasihan ). Karakter yang baik ini selalu diharapkan dari seseorang dalam hubungannya dengan diri sendiri dan orang lain.
Menurut Sri Narwanti, Pendidikan Karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. [2]
Menurut Doni Koesoema, Pendidikan karakter hakikatnya adalah evaluasi atas proses pembelajaran secara terus menerus, individu dan komunitas, untuk menghayati peran dan kebebasannya bersama orang lain dalam sebuah lingkungan sekolah demi pertumbuhan integritas moralnya sebagai manusia. Proses pembelajaran itu terjadi ketika individu terbuka pada pengalaman diri dan orang lain. Keterbukaan diri dalam relasi dengan orang lain yang tercermin dari cara mengambil keputusan dan bertindak itu mampu menentukan apakah dirinya telah menjadi manusia berkarakter atau bukan.[3]
Setiap proses pendidikan adalah pendidikan karakter. Pendidikan karakter terjadi secara lebih alamiah saat dilakukan secara natural dan informal. Oleh karena itu tidak perlu ada mata pelajaran khusus tentang pendidikan karakter. Dalam hal ini yang lebih utama adalah prosesnya, bukan isinya. Karena proses dapat terjadi di mana saja, baik di dalam kelas atau di luar kelas. Setiap tindakan guru sesungguhnya merupakan praksis pendidikan karakter.
Pendidikan karakter terintegrasi dengan kurikulum. Artinya teks-teks dalam materi pembelajaran yang dipakai didessain sedemikian rupa  sehingga mengarah pada nilai-nilai pembentukan karakter tertentu, meskipun tidak ada mata pelajaran baru yang dibuat. Pendekatan ini tetap menggunakan proses pembelajaran dengan menggunakan materi yang telah ada. Mata pelajaran terpisah juga dapat berupa pengelompokan mata pelajaran tertentu yang dianggap memiliki muatan penting bagi pengembangan karakter siswa, seperti pendidikan agama, bahasa dan sastra, Pendidikan Kewarganegaraan, serta Pendidikan Jasmani dan Kesehatan. Fokus pendidikan karakter bukan pada satu pelajaran saja, tetapi beberapa mata pelajaran.
Pembelajaran tematik yang terintegrasi dalam kurikulum dan seluruh proses pembelajaran di kelas dapat dilakukan dengan cara membuat blok tema pendidikan karakter yang diinginkan. Misalnya setiap satu bulan sekali sekolah menentukan tema atau prioritas terhadap nilai terhadap nilai yang akan menjadi materi utama bagi pembelajaran karakter. Para guru menerjemahkan dan mengintegrasikan tema itu dalam seluruh proses pembelajaran. Kurikulum pendidikan karakter dirancang sebagai jaringan nilai yang akan dijabarkan seiring kemajuan proses belajar siswa.
Tujuan pendidikan karakter adalah membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulai, bermoral, toleran, gotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi, yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa berdasarkan Pancasila.
Kementerian Pendidikan Nasional memberi prioritas pada dua puluh nilai yang ingin diteapkan di sekolah. Nilai-Nilai bagi pembentukan karakter itu dikelompokkan menjadi lima bidang, yaitu :
1. Kelompok pertama berhubungan dengan Tuhan, yaitu religius.
2. Kelompok kedua berhubungan dengan diri sendiri, yaitu jujur, tanggung jawab, bergaya hidup sehat, disiplin, kerja keras, percaya diri, berjiwa wiraussaha, berfikir logis ,kritis, kreatif dan inovatif, mandiri, rasa ingin tahu dan cinta ilmu.
3. Kelompok ketiga berhubungan dengan sesama, yaitu sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain, patuh pada aturan-aturan sosial, menghargai karya dan prestasi orang lain, santun, demokratis.
4. Kelompok keempat berhubungan dengan lingkungan, yaitu cinta lingkungan
5. Kelompok kelima berhubungan dengan kebangsaan, yaitu nasionalis dan menghargai keragaman.

C. PENGERTIAN DISIPLIN
Disiplin merupakan cermin budaya suatu bangsa.[4] Bangsa yang memiliki peradaban dan budaya yang tinggi memiliki tingkat disiplin yang tinggi pula. Tingkat pelanggaran di tempat-tempat umum yang tinggi menandakan masyarakat yang kurang disiplin. Disiplin terbentuk melalui proses tingkah laku yang menunjukkan nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan, dan ketertiban.
Disiplin merupakan tindakan yang menunjukkan perilaku tetib dan patuh pada peraturan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, disiplin berarti ketaatan ( kepatuhan ) kepada peraturan ( tata tertib, dll ). Kata disiplin memiliki makna diantaranya menghukum, melatih, dan mengembangkan kontrol diri anak. Disiplin akan membantu anak untuk mengembangkan kontrol dirinya, dan membantu anak mengenali perilaku yang salah lalu mengoreksinya.
Disiplin tidak identik dengan kekerasan. Padahal disiplin yang benar dan proporsional adalah adalah jika disiplin itu diterapkan dengan penuh kesadaran dan kasih sayang.  Apabila disiplin diterapkan dengan emosi, amarah, dan kekerasan, maka yang muncul bukan disiplin yang baik, namun disiplin yang terpaksa. Di depan orang tua anak mungkin tampak mematuhi peraturan, namun dibelakangnya anak malah membangkang. Ini jelas sikap yang kontra produktif.
Menurut Imam Ahmad, disiplin dapat membentuk kejiwaan anak untuk memahami peraturan sehingga diapun mengerti kapan saat yang tepat untuk melaksanakan peraturan dan kapan pula mengesampingkannya. Sedangkan peraturan itu sendiri ada dalam keseharian hidup anak. Kondisi kejiwaan anak butuh diatur sehingga seorang anak akan merasa tenteram jika hidupnya teratur.[5]

D. CARA MEMBENTUK KARAKTER DISIPLIN DALAM KELUARGA
Melatih dan mendidik anak dalam keteraturan hidup kesehariannya akan memunculkan watak disiplin.  Melatih anak untuk mentaati peraturan akan sama halnya dengan melatih mereka untuk bersikap disiplin. Sikap disiplin akan lebih efektif dan berhasil jika disosialisasikan kepada anak, dilakukan terlebih dahulu oleh orang tua serta lingkungannya. Anak juga akan mudah menerapkan peraturan tersebut bila ada penghargaan atau hukuman yang jelas.
Menurut Ihsan Baihaqi, ada tujuh cara membentuk karakter disiplin.[6]
1. Akrab dengan anak, namun syaratnya harus punya kedekatan emosional. Apabila mendisiplinkan anak tanpa kedekatan emosinal (emotional bonding), hanya akan membuat hubungan yang kering, tanpa makna dan tanpa jiwa. Fungsi kedekatan emosional adalah :
a. Penjaga kedamaian hati anak. Saat mendisiplinkan anak, terkadang memberi rasa tidak nyaman pada anak karena keinginannya terbentur dengan aturan. Saat anak melanggar peraturan ada konsekuensi yang tidak dapat dihindari.
b. Pemupuk kasih sayang. Jika anak merasa dicintai dengan sebenar-benarnya, maka ada perasaan tidak nyaman jika menyakiti orang tua atau melakukan perbuatan yang dibenci orang tua.
c. Menghindari tindakan yang saling menyakiti
d. Menjalin persahabatan dengan anak.
2.  Orang tua tidak boleh berbohong. Agar anak mau berhenti berbuat buruk, tindakan praktis kedua orang tua adalah menjadi orang tua yang dipercaya oleh anak. Anak yang tidak patuh pada orang tua adalah anak yang sering dibohongi orang tua. Orang tua minta maaf pada anak jika berbuat salah. Permintaan maaf ini untuk menjaga konsistensi pada kebenaran.
3. Orang tua menegosiasikan batasan.Membuat aturan di keluarga harus dengan jelas. Saat kebebasan seseorang berbenturan dengan kebebasan orang lain, maka dibutuhkan peraturan atau batasan. Saat kebebasan diberikan tapi  hal itu malah membahayakan diri sendiri,orang lain, seta bertentangan dengan hukum agama, negara dan norma masyarakat., maka dibutuhkan peraturan. Aturan yang dibuat dibuat dibicarakan dengan anak. Mengajak mereka bicara berarti membuka ruang ide yang rasional dari anak dan mereka akan lebih mudah menerima aturan yang dibuat bersama. Dalam membuat aturan diperlukan prosedur operasi standar ( SOP ). Manfaat SOP adalah :
a. Merupakan bukti konkret tindakan orang tua  saat anak berbuat buruk.Saat anak berbuat baik kita boleh banyak bicara. Tapi saat anak berbuat buruk, orang tua hendaknya sedikit bicara tapi banyak bertindak.
b. Menghindari sikap reaktif saat perbuatan buruk terulang. Saat bersikap reakti, orang tua cenderung mengambil keputusan spontan dan bersifa sepihak. Dengan SOP akan terhindar dari hal tersebut.
c. Orangtua terhindar dari sikap otoriter.Memiliki otoritas ( kekuasaan )dalam mendidik itu wajib, tapi sikap otoriter harus dihindari.
d. Orangtua memiliki semacam “kepastian hukum” apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh.
4. Membuat aturan harus disertai dengan konsekuensi. Salah satu bagian penting soal disiplin adalah ketegasan termasuk unsur di dalamnya adlah soal sistem ketegasan. Jika kewajiban tanpa ada konsekuensi maka sifatnya berubah menjadi sukarela. Konsekuensi selain berbetuk hukuman ( punishment) juga berbentuk ganjaran (reward).
     Konseuensi selain bicara mengenai hukuman, juga menganai tanggung jawab dan mengenai sebab akibat dari sebuah perbuatan. Prinsip-prinsip konsekuensi yang berbentuk hukuman
a.Harus merugikan. Saat konsekuensi diberikan, anak dapat merassakan perasaan tidak nyaaman akibat perbuatannya.
b.Tidak berbentuk kebaikan. Dalam konsep anak, jika hukuman diberikan, maka kebaikan itu sama dengan hukuman.
c.Tidak boleh menyakiti tubuh. Kekerasan fisik tida pernah menyelesaikan masalah. Penelitian megungkapkan anak yang sering dipukul dan mendapay kekerasan, berisiko menjadi agresif pada usia diatasnya.
d.Tidak mempermalukan. Tindakan mempermalukan hanya akan menyebabkan anak menilai orang tua jahat dan tidak adil. Dia tidak belajar bekerja sama. Anak mungkin akan menyerang balik dengan kemarahan atau dengan bentuk lain.
e.Diberikan secara bertahap, untuk menyesuaikan dengan tahap tumbuh kembangnya.
f.Tidak diberikan ika tidak sengaja berbuat salah.
       Ketika menerapkan disiplin, orang tua melakukan pemaksaan kepada anak. Makin kecil anak, orang tua makin memaksa anak. Maakin dewasa anak, orang tua makin memberi kebebasan dan makin dilibatkan dalam pengambila keputusan. Saat menegakkan disiplin,orang tua akan sampai pada suatu titik untuk memaksa anak. Dalam masyarakatpun ada pemaksaan yang dilegalkan oleh sistem aturan yang dibuat setelah ada konsensus dengan masyarakat.
       Saat aturan sudah dibuat dan disosialisasikan , ketegasan harus dilaksanakan. Kompromi, meminta pendapat anak  tetap dibutuhkan sebelum keputusan dibuat. Kesadaran amat diperlukan untuk terciptanya keteraturan saat menegakkan disiplin. Ketegasan adalah pendorong utama tumbuhnya kesadaran anak. Jika sudah menjadi kebiasaan (habit) maka kesadaran itu akan tertanam di alam bawah sadarnya.
5. Tegas bertindak konsisten. Konsisten adalah modal penting untuk menguasai anak. Orang tua wajib punya otoritas di hadapan anak. Tapi setelah punya otoritas tidak dibenarkan bertindak otoriter.
6. Apabila anak berbuat baik, maka itu harus diakui dan diapresiasi. Tindakan yag efektif untuk menghentikan dan mengurangi perbuatan buruk anak adalah memperbesar wilaayah kebaikannya. Semakin banyak perbuatan baik anak, semakin sedikit perbuatan buruknya. Namun tidak semua reward baik untuk anak. Ada sebagian perbuatan yang tidak boleh diiming-imingi dengan reward. Atau jika anak mensyaratkan reward terlebih dahulu. Hal itu berbahaya, karena ini akan menjadi konsep diri anak di kemudian hari, yaitu melakukan kebaikan harus ada rewardnya. Reward tidak boleh diberikan pada pekerjaan atau tugas yang seharusnya memang wajib dilakukan anak, tapi boleh diberikan jika mengerjakan diluar tugas utamanya.
7. Tanamkan nilai, pandangan hidup, moral, etika pada diri anak.

E. CARA MEMBENTUK KARAKTER DISIPLIN DALAM SEKOLAH
Guru memiliki wewenang besar dalam penerapan disiplin dalam lingkungan sekolah. Guru adalah model disiplin bagi siswa saat berada di lingkungan sekolah. Guru dapat menjelaskan kepada siswa alasan yang tepat tentang keuntungan berbuat disiplin dan kerugian jika mengabaikannya. Guru menjadi mentor yang melalui arahan dan bimbingan melalui penjelasan,diskusi di kelas, bercerita, pemberian motivasi pribadi dan pemberian umpak balik yang mendidik saat ada siswa yang melanggar disiplin.
Guru adalah pusat otoritas karakter dalam kelas . Sekolah telah memberikan tanggung jawab kepada guru untuk melakukan pembelajaran dan menciptakan karakter yang baik. Melatih sebuah otoritas bukan berarti membuat seseorang menjadi seorang otoriter. Sebuah otoritas akan berhasil jika disertai rasa hormat dan cinta sesama.
Untuk kebanyakan sekolah, disiplin merupakan titik masuk bagi pendidikan karakter. Jika tidak ada rasa hormat terhadap peraturan, otoritas, dan hak-hak orang lain, maka tidak ada lingkungan yang baik bagi proses pembelajaran.Pendidikan karakter diharapkan dapat memperbaiki penurunan moral dan etika yang dialami oleh kebanyakan siswa sekarang ini.
Penerapan disiplin dibagi menjadi dua kategori; pencegahan dan koreksi. Pencegahan yang dilakukan dengan baik akan mengurangi tingkat pelanggaran yang ada. Namun permasalahan yang muncul akan dikoreksi melalui pendidikan karakter. Strategi penanaman disiplin menurut Thomas Lickona adalah [7] :
1. Antara guru dan siswa saling berbagi tugas . Tugas guru adalah memberikan materi saat pembelajaran, sedangkan tugas siswa secara aktif belajar.  Salah satu cara agar siswa memiliki kesiapan belajar adalah dengan menjelaskan tujuan materi diberikan, seberapa penting materi tersebut, dan cara pembelajaran yang akan dilaksanakan. Banyak permasalahan disiplin berasal dari materi yang kurang diminati siswa dan cara penyampaian materi yang kurang bagus.
2.Siswa harus terus bertanggung jawab akan semua tugasnya.  Para guru yang berpegang teguh pada nilai kedisiplinan memiliki pengharapan yang tinggi atas pencapaian nilai akademik dan perilaku yang baik dan terus mempertahankan sikap tersebut.
3. Guru mengajarkan prinsip-prinsip tanggung jawab. Siswa membuat semacam kesepakatan dengan guru hal-hal yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Diadakan penyesuaian diri selama beberapa minggu. Setiap kali kesepakatan dilanggar, gur mengingatkannya. Siswa menjadi reflektif terhadap tindakan-tindakannya.
4. Guru melibatkan siswa dalam membuat aturan. Keuntungan melibatkan siswa adalah dapat membentuk jalinan kerjasama  untuk menciptakan lingkungan yang baik di sekolah. Siswa diperlakukan sebagai pemikir karakter sehingga dapat berkembang atas dasar karakter. Siswa diajak berfikir kritis tentang peraturan dan untuk mengembangkan peraturan yang baik bagi mereka. Kerjasama ini akan mengendalikan hubungan internal dibanding eksternal dan membantu perkembangan sifat sukarela mematuhi aturan.
5. Mengajarkan aturan utama.  Aturan ini merupakan hal paling pokok yang harus dilakukan siswa saat berada di kelas. Bunyi aturan ini dibuat berdasarkan keinginan seluruh siswa dalam satu kelas. Aturan ini wajib dilaksanakan seluruh anggota kelas. Apabila dilanggar, maka ada konsekuensinya.
6. Berbagi rencana dengan orang tua. Saat aturan dan konsekuensinya dibuat, gur memberitahu orang tua siswa akan hal tersebut. Hal ini dimaksudkan agar suatu saat orang tua dapat membantu permasalahan yang mungkin terjadi pada diri anaknya.
7. Mempraktikkan prosedur. Setelah aturan dibuat, maka siswa mempraktikkan prosedur sebanyak beberapa kali agar siswa dapat melakukannya dengan benar. Karena banyak permasalahan disiplin terjadi karena sekolah tidak menerapkan prosedur yang benar mengenai aturan yang telah dibuat.
8. Saat memuji perilaku baik, digunakan bahasa yang khusus menyebutkan perilaku yang dipuji. Hal ini agar siswa mengetahui jenis perilaku apa yang diharapkan untuk dilakukan.
9. Membantu siswa belajar dari kesalahan. Saat siswa membuat kesalahan, merela diminta memberi tanggapan tehadap empat hal: kesalahan apa yang telah dilakukan, apa yang bisa dipelajari dari kesalahan tersebut, bagaimana menghindari berbuat salah di masa mendatang, dan apakah siswa perlu membuat rencana perbaikan.
10.Membantu siswa membuat rencana perubahan perilaku. Apabila aturan dilanggar, maka sekolah memberi catatan kepada siswa untuk diisi mengenai apa yang telah dilanggar dan rencana siswa untuk berhenti melanggar aturan. Siswa dilatih untuk menilai dirinya sendiri dan rencana perbaikan yang akan dilakukannya.
11.Membahas dengan siswa mengapa suatu perilaku itu salah.  Saat siswa berbuat salah, tidak hanya perlu dihukum. Namun juga perlu dijelaskan mengapa perbuatan itu salah. Dengan hal ini siswa mengembangkan suara hati nuraninya tentang suatu perbuatan salah. Siswa diajak berfikir dampak atas kesalahan mereka pada orang lain.
12.Menggunakan waktu jeda dengan efektif. Waktu jeda ini konsekuensi umum bagi anak sekolah dasar untuk tindakan indisipliner. Waktu jeda memberi kesempatan bagi pelaku salah untuk memikirkan kembali, menenangkan diri dan memperoleh kendali atas diri mereka sendiri agar diterima baik dalam lingkungan temannya. Tujuan jeda waktu adalah meredam emosi siswa daripada membuat hubunngan menjadi panas. Namun bila kesalahan terus berulang, harus ada konsekuensi bertingkat, sehingga guru dapat memberi pilihan kepada siswa. Juga bisa dengan pertemuan secara pribadi antara guru dan siswa. Hal ini dapat mengungkapkan masalah apa yang sedang dihadap siswa.Apabila prosedur jeda waktu ini telah dimusyawarahkan dengan siswa sebagai akbat berbuat salah, kebanyakan mereka akan menerimanya.
13.Mengajarkan ganti rugi. Setelah melakukan kesalahan, hal logis yang ditanyakan adalah hal apa yang dapat digunakan untuk mengganti kesalahan yang telah dibuat. siswa ditanya adakah cara yang lebih baik dilakukan setelah melakukan kesalahan. Tujuan ganti rugi ini adalah memaksimalkan perkembangan karakter sebagai akibat dari pengalaman indisipliner.
Apabila siswa telah dapat melaksanakan disiplin dengan baik, guru dapat memberikan hadiah. Namun hendaknya dihindari berbuat disiplin hanya untuk mendapatkan hadiah. Guru hendaknya menjelaskan bahwa pemberian hadiah hanya sebagai motivasi tambahan . Pemberian hadiah secara insidental untuk menghindari ketergantungan mengharap hadiah yang merupakan motivasi eksternal. Guru hendaknya terus menerus memberi penjelasan tentang alasan mengikuti peraturan sehingga akan timbul rasa saling menghormati dan kelas akan menjadi nyaman.
Keterlibatan orang tua dalam pembentukan dsiplin juga perlu dipertimbangkan. Ada beberapa cara guru untuk melibatkan orang tua dalam menerapkan disiplin ini, misalnya:
1.    Mengirim rencana disiplin di kelas kepada orang tua. Orang tua dapat mengetahui rencana disiplin sehingga mereka akan mendiskusikan perilaku yang diharapkan guru dan tahu apa yang akan terjadi jika anaknya tidak mengikuti peraturan yang telah dietapkan.
2.    Pada awal tahun, guru dapat berkomunikai melalui telepon atau catatan kecil  . Setelah guru melakukan kontak positif yang pertama ini, akan ada perbedaan respon ketika suatu saat nanti ada keharusan untuk  menghubungi orang tua karena suatu masalah yang berkaitan dengan anaknya.
3.    Guru memberitahu orang tua mengenai masalah disiplin yang serius atau pelanggaran yang terus  menerus. Apabila masalah disiplin ini dapat diatasi guru sendiri, maka orang tua tidak perlu dilibatkan. Banyak orang tua yang merasa frustasi berlebihan jika diberitahu tentang masalah anak mereka. 
4.    Apabila respon orang tua dirasa akan merugikan siswa, misalnya orang tua akan berbuat kasar pada anaknya setelah tahu masalah yang terjadi, guru dapat bertemu langsung dengan orang tua siswa. Guru dapat memberitahu kelebihan dan kekuatan yang dimiliki siswa tersebut, lalu megidentifikasi masalah yang ada , baru kemudian menentukan rencana tindakan untuk membantu anak tersebut agar dapat berkembang secara baik.
5.    Apabila semua usaha telah dilakukan namun belum memberikan hasil, guru dapat membuat rencana baru lain, misalnya dengan kartu indeks dengan banyak bintang didalamnya. Apabila hal ini berhasil. dapat dibuat laporan harian kepada orang tua.Setelah siswa berkembang dapat diubah menjadi laporan bulanan. Sebagai hasil dari komunikasi ini, terjalin hubungan yang lebih erat antara orang tua dan pihak sekolah.

F. PENUTUP
Disiplin di sekolah dapat memberi gambaran mengenai banyak hal, misalnya bagaimana siswa menggambarkan diri mereka sendiri, bagaimana mereka saling meperlakukan satu sama lain, bagaimana siswa bersikap kepada guru, bagaimana siswa bertindak di luar kelas. Dengan disiplin siswa dapat mengontrol tindakan mereka, sehingga dapat membantu mereka untuk berhubungan baik dengan teman, orang tua, guru, dan masyarakat pada umumnya.
Disiplin akan memerikan rasa aman dan tertib dalam segala hal. Peraturan yang dibuat akan dapat berjalan lancar. Konsekuensi pelanggaran yang diberlakukan akan memberi payung hukum bagi guru untuk tetap menerapkan hukuman. Jika disiplin ditegakkan, guru dan siswa akan merasa nyaman dalam kegiatan pembelajaran.
Disiplin akan berjalan dengan baik pelu sekali memperhatikan tiga prinsip, yaitu kesadaran diri sendiri dari siswa, keteladanan dari guru, orang tua dan masyarakat, serta penegakan peraturan yang telah dibuat. Keteladanan dan penegakan peraturan merupakan faktor dari luar yang tidak akan bertahan lama bila tanpa kesadaran dari diri sendiri. Komitmen dari diri inilah penopang utama dalam penegakan disiplin di berbagai tempat.
  
DAFTAR PUSTAKA.
----- Educating for Character : How Our School Can Teach Respect and Responbility. ( Terjemahan Juma Abdu Wamaungo . 2013 ). Jakarta : PT. Bumi Aksara
Doni Koesoema. 2015. Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh. Yogyakarta : PT. Kanisius.
Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari. 2015. Dari Abah Ihsan : 7 Kiat Orang Tua Shalih Menjadikan Anak Disiplin dan Bahagia. Jakarta : PT. Mizan Pustaka.
Imam Ahmad Ibnu Nizar. 2009. Membentuk & Meningkatkan Disiplin Anak Sejak Dini. Yogyakarta : DIVA Press.
Sri Narwanti. 2013. Pendidikan Karakter. Yogyakarta : Familia.
Syamsul Kurniawan. 2013. Pendidikan Karakter, Konsepsi & Implementasinya secara Terpadu di Lingkungan Keluarga, Sekolah, Perguruan Tinggi dan Masyarakat. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media
Thomas Lickona. Character Matters. ( Terjemah Juma Abdu W & Jean Antunis RZ. 2013. Persoalan Karakter ). Jakarta : PT. Bumi Aksara.



[1] Thomas Lickona. 2012 . Educating for Character : How Our School Can Teach Respect and Responbility . Terjemahan Oleh Juma Abdu Wamaungo . 2013 . Jakarta : PT. Bumi Aksara. Hal. 81
[2] Sri Narwanti. 2013. Pendidikan Karakter. Yogyakarta : Familia. hlm. 16
[3] Doni Koesoema. 2015. Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh. Yogyakarta : PT. Kanisius. hlm. 9
[4] Syamsul Kurniawan. 2013. Pendidikan Karakter, Konsepsi & Implementasinya secara Terpadu di Lingkungan Keluarga, Sekolah, Perguruan Tinggi dan Masyarakat. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media. Hlm. 136
[5] Imam Ahmad Ibnu Nizar. 2009. Membentuk & Meningkatkan Disiplin Anak Sejak Dini. Yogyakarta : DIVA Press. hlm 22.
[6] Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari. 2015. Dari Abah Ihsan : 7 Kiat Orang Tua Shalih Menjadikan Anak Disiplin dan Bahagia. Jakarta : PT. Mizan Pustaka. hlm.
[7] Thomas Lickona. Character Matters. ( Terjemah Juma Abdu W & Jean Antunis RZ. 2013. Persoalan Karakter ). Jakarta : PT. Bumi Aksara. hlm. 176

Comments

Popular posts from this blog

EVALUASI dan PENILAIAN dalam KURIKULUM 2013

PERMASALAHAN DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH

Aliran filsafat pendidikan modern