Penanaman Nilai Karakter ( disiplin )
KARAKTER DISIPLIN
A. PENDAHULUAN
Kata karakter ahir-akhir ini sering terdengar di
telinga kita. Pada saat sekarang banyak kalangan yang mengkhawatirkan karakter anak muda yang
cenderung telah kehilangan adat ketimurannya. Perkelahian antar pelajar, kasus
narkoba, balapan liar, kejahatan seksual, dan bullying, adalah sederet
kasus yang sering menimpa remaja. Orang tua semakin merasakan bagaimana anak
mereka semakin nakal, tidak mudah dinasehati, dan semakin terkena pengaruh
negatif dari lingkungan sekitarnya. Kalangan guru juga merasakan hal yang sama.
Banyak siswa yang berlatar belakang keluarga broken home dan single parent. Kurangnya perhatian
orang tua menjadi salah satu sebab kurangnya kesadaran moral . Anak didik
sekarang dirasakan banyak orang tidak sama dengan anak didik dulu.
Pendidikan karakter sangat dibutuhkan dalam masa
sekarang ini. Pada dasarnya, pendidikan karakter sudah termasuk dalam
pendidikan itu sendiri. Tujuan utama pendidikan adalah menjadikan siswa menjadi
cerdas dan memiki karakter.yang baik. Cerdas dan karakter baik adalah dua hal
yang berbeda, maka Pemerintah telah membuat suatu kebijakan mengenai pendidikan
karakter yang sengaja dibuat sebagai bagian dari pendidikan sekolah.
Salah satu yang temasuk dalam cakupan karakter
adalah mengenai disiplin. Dalam makalah ini membicarakan tentang apa yang
dimaksud pendidikan karakter ? apa yang dimaksud dengan disiplin ? bagaimana
cara membentuk sikap disiplin anak di rumah oleh orang tua ? serta bagaimana
cara membentuk sikap disiplin siswa di sekolah ?
B. PENGERTIAN PENDIDIKAN KARAKTER
Karakter merupakan tipologi kepribadian, perangai,
atau ciri khas individu yang relatif stabil. Dalam hal ini karakter dipahami
sebagai pendekatan psikologis. Karakter berhubungan dengan pertumbuhan dimensi kepribadian
individu.
Aristoteles, seorang fiosof Yunani mendefinisikan
karakter yang baik sebagai kehidupan dengan melakukan tindakan-tindakan yang
benar sehubungan dengan diri dan orang lain. [1]
Kehidupan yang mulia termasuk kebaikan yang mengarah pada diri sendiri ( seperti tawadhu’ , rendah
hati, tanggung jawab, tawakkal dan sabar) dan yang mengarah pada orang lain (
seperti sopan, ramah, dermawan, toleransi, dan belas kasihan ). Karakter yang
baik ini selalu diharapkan dari seseorang dalam hubungannya dengan diri sendiri
dan orang lain.
Menurut Sri Narwanti, Pendidikan Karakter adalah
suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi
komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan
nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama,
lingkungan maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. [2]
Menurut Doni Koesoema, Pendidikan karakter
hakikatnya adalah evaluasi atas proses pembelajaran secara terus menerus, individu
dan komunitas, untuk menghayati peran dan kebebasannya bersama orang lain dalam
sebuah lingkungan sekolah demi pertumbuhan integritas moralnya sebagai manusia.
Proses pembelajaran itu terjadi ketika individu terbuka pada pengalaman diri
dan orang lain. Keterbukaan diri dalam relasi dengan orang lain yang tercermin
dari cara mengambil keputusan dan bertindak itu mampu menentukan apakah dirinya
telah menjadi manusia berkarakter atau bukan.[3]
Setiap proses pendidikan adalah pendidikan karakter.
Pendidikan karakter terjadi secara lebih alamiah saat dilakukan secara natural
dan informal. Oleh karena itu tidak perlu ada mata pelajaran khusus tentang
pendidikan karakter. Dalam hal ini yang lebih utama adalah prosesnya, bukan
isinya. Karena proses dapat terjadi di mana saja, baik di dalam kelas atau di
luar kelas. Setiap tindakan guru sesungguhnya merupakan praksis pendidikan
karakter.
Pendidikan karakter terintegrasi dengan kurikulum.
Artinya teks-teks dalam materi pembelajaran yang dipakai didessain sedemikian rupa sehingga mengarah pada nilai-nilai
pembentukan karakter tertentu, meskipun tidak ada mata pelajaran baru yang
dibuat. Pendekatan ini tetap menggunakan proses pembelajaran dengan menggunakan
materi yang telah ada. Mata pelajaran terpisah juga dapat berupa pengelompokan
mata pelajaran tertentu yang dianggap memiliki muatan penting bagi pengembangan
karakter siswa, seperti pendidikan agama, bahasa dan sastra, Pendidikan
Kewarganegaraan, serta Pendidikan Jasmani dan Kesehatan. Fokus pendidikan
karakter bukan pada satu pelajaran saja, tetapi beberapa mata pelajaran.
Pembelajaran tematik yang terintegrasi dalam
kurikulum dan seluruh proses pembelajaran di kelas dapat dilakukan dengan cara
membuat blok tema pendidikan karakter yang diinginkan. Misalnya setiap satu
bulan sekali sekolah menentukan tema atau prioritas terhadap nilai terhadap
nilai yang akan menjadi materi utama bagi pembelajaran karakter. Para guru
menerjemahkan dan mengintegrasikan tema itu dalam seluruh proses pembelajaran.
Kurikulum pendidikan karakter dirancang sebagai jaringan nilai yang akan
dijabarkan seiring kemajuan proses belajar siswa.
Tujuan pendidikan karakter adalah membentuk bangsa
yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulai, bermoral, toleran, gotong royong,
berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan
teknologi, yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa berdasarkan Pancasila.
Kementerian Pendidikan Nasional memberi prioritas
pada dua puluh nilai yang ingin diteapkan di sekolah. Nilai-Nilai bagi
pembentukan karakter itu dikelompokkan menjadi lima bidang, yaitu :
1. Kelompok pertama berhubungan dengan Tuhan, yaitu
religius.
2. Kelompok kedua berhubungan dengan diri sendiri,
yaitu jujur, tanggung jawab, bergaya hidup sehat, disiplin, kerja keras,
percaya diri, berjiwa wiraussaha, berfikir logis ,kritis, kreatif dan inovatif,
mandiri, rasa ingin tahu dan cinta ilmu.
3. Kelompok ketiga berhubungan dengan sesama, yaitu
sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain, patuh pada aturan-aturan
sosial, menghargai karya dan prestasi orang lain, santun, demokratis.
4. Kelompok keempat berhubungan dengan lingkungan,
yaitu cinta lingkungan
5. Kelompok kelima berhubungan dengan kebangsaan,
yaitu nasionalis dan menghargai keragaman.
C. PENGERTIAN DISIPLIN
Disiplin merupakan cermin budaya suatu bangsa.[4]
Bangsa yang memiliki peradaban dan budaya yang tinggi memiliki tingkat disiplin
yang tinggi pula. Tingkat pelanggaran di tempat-tempat umum yang tinggi
menandakan masyarakat yang kurang disiplin. Disiplin terbentuk melalui proses
tingkah laku yang menunjukkan nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan,
keteraturan, dan ketertiban.
Disiplin merupakan tindakan yang menunjukkan
perilaku tetib dan patuh pada peraturan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, disiplin
berarti ketaatan ( kepatuhan ) kepada peraturan ( tata tertib, dll ). Kata
disiplin memiliki makna diantaranya menghukum, melatih, dan mengembangkan
kontrol diri anak. Disiplin akan membantu anak untuk mengembangkan kontrol
dirinya, dan membantu anak mengenali perilaku yang salah lalu mengoreksinya.
Disiplin tidak
identik dengan kekerasan. Padahal disiplin yang benar dan proporsional adalah
adalah jika disiplin itu diterapkan dengan penuh kesadaran dan kasih sayang. Apabila disiplin diterapkan dengan emosi,
amarah, dan kekerasan, maka yang muncul bukan disiplin yang baik, namun
disiplin yang terpaksa. Di depan orang tua anak mungkin tampak mematuhi
peraturan, namun dibelakangnya anak malah membangkang. Ini jelas sikap yang
kontra produktif.
Menurut Imam
Ahmad, disiplin dapat membentuk kejiwaan anak untuk memahami peraturan sehingga
diapun mengerti kapan saat yang tepat untuk melaksanakan peraturan dan kapan
pula mengesampingkannya. Sedangkan peraturan itu sendiri ada dalam keseharian
hidup anak. Kondisi kejiwaan anak butuh diatur sehingga seorang anak akan
merasa tenteram jika hidupnya teratur.[5]
D. CARA MEMBENTUK KARAKTER DISIPLIN DALAM KELUARGA
Melatih dan
mendidik anak dalam keteraturan hidup kesehariannya akan memunculkan watak
disiplin. Melatih anak
untuk mentaati peraturan akan sama halnya dengan melatih mereka untuk bersikap
disiplin. Sikap disiplin akan lebih efektif dan berhasil jika disosialisasikan
kepada anak, dilakukan terlebih dahulu oleh orang tua serta lingkungannya. Anak
juga akan mudah menerapkan peraturan tersebut bila ada penghargaan atau hukuman
yang jelas.
Menurut Ihsan Baihaqi, ada tujuh cara membentuk
karakter disiplin.[6]
1. Akrab dengan anak, namun syaratnya harus punya
kedekatan emosional. Apabila mendisiplinkan anak tanpa kedekatan emosinal
(emotional bonding), hanya akan membuat hubungan yang kering, tanpa makna dan
tanpa jiwa. Fungsi kedekatan emosional adalah :
a. Penjaga kedamaian hati anak. Saat mendisiplinkan
anak, terkadang memberi rasa tidak nyaman pada anak karena keinginannya
terbentur dengan aturan. Saat anak melanggar peraturan ada konsekuensi yang
tidak dapat dihindari.
b. Pemupuk kasih sayang. Jika anak merasa dicintai
dengan sebenar-benarnya, maka ada perasaan tidak nyaman jika menyakiti orang
tua atau melakukan perbuatan yang dibenci orang tua.
c. Menghindari tindakan yang saling menyakiti
d. Menjalin persahabatan dengan anak.
2.
Orang tua tidak boleh berbohong. Agar anak mau berhenti berbuat buruk,
tindakan praktis kedua orang tua adalah menjadi orang tua yang dipercaya oleh
anak. Anak yang tidak patuh pada orang tua adalah anak yang sering dibohongi
orang tua. Orang tua minta maaf pada anak jika berbuat salah. Permintaan maaf
ini untuk menjaga konsistensi pada kebenaran.
3. Orang tua menegosiasikan
batasan.Membuat aturan di keluarga harus dengan jelas. Saat kebebasan seseorang
berbenturan dengan kebebasan orang lain, maka dibutuhkan peraturan atau
batasan. Saat kebebasan diberikan tapi
hal itu malah membahayakan diri sendiri,orang lain, seta bertentangan
dengan hukum agama, negara dan norma masyarakat., maka dibutuhkan peraturan.
Aturan yang dibuat dibuat dibicarakan dengan anak. Mengajak mereka bicara
berarti membuka ruang ide yang rasional dari anak dan mereka akan lebih mudah
menerima aturan yang dibuat bersama. Dalam membuat aturan diperlukan prosedur
operasi standar ( SOP ). Manfaat SOP adalah :
a. Merupakan bukti konkret tindakan
orang tua saat anak berbuat buruk.Saat
anak berbuat baik kita boleh banyak bicara. Tapi saat anak berbuat buruk, orang
tua hendaknya sedikit bicara tapi banyak bertindak.
b. Menghindari sikap reaktif saat
perbuatan buruk terulang. Saat bersikap reakti, orang tua cenderung mengambil
keputusan spontan dan bersifa sepihak. Dengan SOP akan terhindar dari hal
tersebut.
c. Orangtua terhindar dari sikap
otoriter.Memiliki otoritas ( kekuasaan )dalam mendidik itu wajib, tapi sikap
otoriter harus dihindari.
d. Orangtua memiliki semacam
“kepastian hukum” apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh.
4. Membuat aturan harus
disertai dengan konsekuensi. Salah satu bagian penting soal disiplin adalah
ketegasan termasuk unsur di dalamnya adlah soal sistem ketegasan. Jika
kewajiban tanpa ada konsekuensi maka sifatnya berubah menjadi sukarela.
Konsekuensi selain berbetuk hukuman ( punishment) juga berbentuk ganjaran
(reward).
Konseuensi
selain bicara mengenai hukuman, juga menganai tanggung jawab dan mengenai sebab
akibat dari sebuah perbuatan. Prinsip-prinsip konsekuensi yang berbentuk
hukuman
a.Harus merugikan. Saat konsekuensi
diberikan, anak dapat merassakan perasaan tidak nyaaman akibat perbuatannya.
b.Tidak berbentuk kebaikan. Dalam
konsep anak, jika hukuman diberikan, maka kebaikan itu sama dengan hukuman.
c.Tidak boleh menyakiti tubuh.
Kekerasan fisik tida pernah menyelesaikan masalah. Penelitian megungkapkan anak
yang sering dipukul dan mendapay kekerasan, berisiko menjadi agresif pada usia
diatasnya.
d.Tidak mempermalukan. Tindakan
mempermalukan hanya akan menyebabkan anak menilai orang tua jahat dan tidak
adil. Dia tidak belajar bekerja sama. Anak mungkin akan menyerang balik dengan
kemarahan atau dengan bentuk lain.
e.Diberikan secara bertahap, untuk menyesuaikan
dengan tahap tumbuh kembangnya.
f.Tidak diberikan ika tidak sengaja berbuat salah.
Ketika
menerapkan disiplin, orang tua melakukan pemaksaan kepada anak. Makin kecil
anak, orang tua makin memaksa anak. Maakin dewasa anak, orang tua makin memberi
kebebasan dan makin dilibatkan dalam pengambila keputusan. Saat menegakkan
disiplin,orang tua akan sampai pada suatu titik untuk memaksa anak. Dalam
masyarakatpun ada pemaksaan yang dilegalkan oleh sistem aturan yang dibuat
setelah ada konsensus dengan masyarakat.
Saat
aturan sudah dibuat dan disosialisasikan , ketegasan harus dilaksanakan.
Kompromi, meminta pendapat anak tetap
dibutuhkan sebelum keputusan dibuat. Kesadaran amat diperlukan untuk
terciptanya keteraturan saat menegakkan disiplin. Ketegasan adalah pendorong
utama tumbuhnya kesadaran anak. Jika sudah menjadi kebiasaan (habit) maka
kesadaran itu akan tertanam di alam bawah sadarnya.
5. Tegas bertindak konsisten.
Konsisten adalah modal penting untuk menguasai anak. Orang tua wajib punya
otoritas di hadapan anak. Tapi setelah punya otoritas tidak dibenarkan
bertindak otoriter.
6. Apabila anak berbuat baik, maka
itu harus diakui dan diapresiasi. Tindakan yag efektif untuk menghentikan dan
mengurangi perbuatan buruk anak adalah memperbesar wilaayah kebaikannya.
Semakin banyak perbuatan baik anak, semakin sedikit perbuatan buruknya. Namun
tidak semua reward baik untuk anak. Ada sebagian perbuatan yang tidak boleh
diiming-imingi dengan reward. Atau jika anak mensyaratkan reward terlebih
dahulu. Hal itu berbahaya, karena ini akan menjadi konsep diri anak di kemudian
hari, yaitu melakukan kebaikan harus ada rewardnya. Reward tidak boleh
diberikan pada pekerjaan atau tugas yang seharusnya memang wajib dilakukan
anak, tapi boleh diberikan jika mengerjakan diluar tugas utamanya.
7. Tanamkan nilai, pandangan hidup,
moral, etika pada diri anak.
E. CARA MEMBENTUK KARAKTER DISIPLIN DALAM SEKOLAH
Guru memiliki wewenang besar dalam penerapan
disiplin dalam lingkungan sekolah. Guru adalah model disiplin bagi siswa saat
berada di lingkungan sekolah. Guru dapat menjelaskan kepada siswa alasan yang
tepat tentang keuntungan berbuat disiplin dan kerugian jika mengabaikannya. Guru
menjadi mentor yang melalui arahan dan bimbingan melalui penjelasan,diskusi di
kelas, bercerita, pemberian motivasi pribadi dan pemberian umpak balik yang
mendidik saat ada siswa yang melanggar disiplin.
Guru adalah pusat otoritas karakter dalam kelas .
Sekolah telah memberikan tanggung jawab kepada guru untuk melakukan
pembelajaran dan menciptakan karakter yang baik. Melatih sebuah otoritas bukan
berarti membuat seseorang menjadi seorang otoriter. Sebuah otoritas akan
berhasil jika disertai rasa hormat dan cinta sesama.
Untuk kebanyakan sekolah, disiplin merupakan titik
masuk bagi pendidikan karakter. Jika tidak ada rasa hormat terhadap peraturan,
otoritas, dan hak-hak orang lain, maka tidak ada lingkungan yang baik bagi
proses pembelajaran.Pendidikan karakter diharapkan dapat memperbaiki penurunan
moral dan etika yang dialami oleh kebanyakan siswa sekarang ini.
Penerapan disiplin dibagi menjadi dua kategori;
pencegahan dan koreksi. Pencegahan yang dilakukan dengan baik akan mengurangi
tingkat pelanggaran yang ada. Namun permasalahan yang muncul akan dikoreksi
melalui pendidikan karakter. Strategi penanaman disiplin menurut Thomas Lickona
adalah [7]
:
1. Antara guru dan siswa saling berbagi tugas .
Tugas guru adalah memberikan materi saat pembelajaran, sedangkan tugas siswa
secara aktif belajar. Salah satu cara
agar siswa memiliki kesiapan belajar adalah dengan menjelaskan tujuan materi
diberikan, seberapa penting materi tersebut, dan cara pembelajaran yang akan
dilaksanakan. Banyak permasalahan disiplin berasal dari materi yang kurang
diminati siswa dan cara penyampaian materi yang kurang bagus.
2.Siswa harus terus bertanggung jawab akan semua
tugasnya. Para guru yang berpegang teguh
pada nilai kedisiplinan memiliki pengharapan yang tinggi atas pencapaian nilai
akademik dan perilaku yang baik dan terus mempertahankan sikap tersebut.
3. Guru mengajarkan prinsip-prinsip tanggung jawab.
Siswa membuat semacam kesepakatan dengan guru hal-hal yang boleh dilakukan dan
yang tidak boleh dilakukan. Diadakan penyesuaian diri selama beberapa minggu.
Setiap kali kesepakatan dilanggar, gur mengingatkannya. Siswa menjadi reflektif
terhadap tindakan-tindakannya.
4. Guru melibatkan siswa dalam membuat aturan. Keuntungan
melibatkan siswa adalah dapat membentuk jalinan kerjasama untuk menciptakan lingkungan yang baik di
sekolah. Siswa diperlakukan sebagai pemikir karakter sehingga dapat berkembang
atas dasar karakter. Siswa diajak berfikir kritis tentang peraturan dan untuk
mengembangkan peraturan yang baik bagi mereka. Kerjasama ini akan mengendalikan
hubungan internal dibanding eksternal dan membantu perkembangan sifat sukarela
mematuhi aturan.
5. Mengajarkan aturan utama. Aturan ini merupakan hal paling pokok yang
harus dilakukan siswa saat berada di kelas. Bunyi aturan ini dibuat berdasarkan
keinginan seluruh siswa dalam satu kelas. Aturan ini wajib dilaksanakan seluruh
anggota kelas. Apabila dilanggar, maka ada konsekuensinya.
6. Berbagi rencana dengan orang tua. Saat aturan dan
konsekuensinya dibuat, gur memberitahu orang tua siswa akan hal tersebut. Hal
ini dimaksudkan agar suatu saat orang tua dapat membantu permasalahan yang
mungkin terjadi pada diri anaknya.
7. Mempraktikkan prosedur. Setelah aturan dibuat,
maka siswa mempraktikkan prosedur sebanyak beberapa kali agar siswa dapat
melakukannya dengan benar. Karena banyak permasalahan disiplin terjadi karena
sekolah tidak menerapkan prosedur yang benar mengenai aturan yang telah dibuat.
8. Saat memuji perilaku baik, digunakan bahasa yang
khusus menyebutkan perilaku yang dipuji. Hal ini agar siswa mengetahui jenis
perilaku apa yang diharapkan untuk dilakukan.
9. Membantu siswa belajar dari kesalahan. Saat siswa
membuat kesalahan, merela diminta memberi tanggapan tehadap empat hal:
kesalahan apa yang telah dilakukan, apa yang bisa dipelajari dari kesalahan
tersebut, bagaimana menghindari berbuat salah di masa mendatang, dan apakah
siswa perlu membuat rencana perbaikan.
10.Membantu siswa membuat rencana perubahan
perilaku. Apabila aturan dilanggar, maka sekolah memberi catatan kepada siswa
untuk diisi mengenai apa yang telah dilanggar dan rencana siswa untuk berhenti
melanggar aturan. Siswa dilatih untuk menilai dirinya sendiri dan rencana
perbaikan yang akan dilakukannya.
11.Membahas dengan siswa mengapa suatu perilaku itu salah. Saat siswa berbuat salah, tidak hanya perlu
dihukum. Namun juga perlu dijelaskan mengapa perbuatan itu salah. Dengan hal
ini siswa mengembangkan suara hati nuraninya tentang suatu perbuatan salah. Siswa
diajak berfikir dampak atas kesalahan mereka pada orang lain.
12.Menggunakan waktu jeda dengan efektif. Waktu jeda
ini konsekuensi umum bagi anak sekolah dasar untuk tindakan indisipliner. Waktu
jeda memberi kesempatan bagi pelaku salah untuk memikirkan kembali, menenangkan
diri dan memperoleh kendali atas diri mereka sendiri agar diterima baik dalam
lingkungan temannya. Tujuan jeda waktu adalah meredam emosi siswa daripada
membuat hubunngan menjadi panas. Namun bila kesalahan terus berulang, harus ada
konsekuensi bertingkat, sehingga guru dapat memberi pilihan kepada siswa. Juga
bisa dengan pertemuan secara pribadi antara guru dan siswa. Hal ini dapat
mengungkapkan masalah apa yang sedang dihadap siswa.Apabila prosedur jeda waktu
ini telah dimusyawarahkan dengan siswa sebagai akbat berbuat salah, kebanyakan
mereka akan menerimanya.
13.Mengajarkan ganti rugi. Setelah melakukan
kesalahan, hal logis yang ditanyakan adalah hal apa yang dapat digunakan untuk
mengganti kesalahan yang telah dibuat. siswa ditanya adakah cara yang lebih
baik dilakukan setelah melakukan kesalahan. Tujuan ganti rugi ini adalah
memaksimalkan perkembangan karakter sebagai akibat dari pengalaman
indisipliner.
Apabila siswa telah dapat melaksanakan disiplin
dengan baik, guru dapat memberikan hadiah. Namun hendaknya dihindari berbuat disiplin
hanya untuk mendapatkan hadiah. Guru hendaknya menjelaskan bahwa pemberian
hadiah hanya sebagai motivasi tambahan . Pemberian hadiah secara insidental
untuk menghindari ketergantungan mengharap hadiah yang merupakan motivasi
eksternal. Guru hendaknya terus menerus memberi penjelasan tentang alasan
mengikuti peraturan sehingga akan timbul rasa saling menghormati dan kelas akan
menjadi nyaman.
Keterlibatan orang tua dalam pembentukan dsiplin
juga perlu dipertimbangkan. Ada beberapa cara guru untuk melibatkan orang tua
dalam menerapkan disiplin ini, misalnya:
1. Mengirim
rencana disiplin di kelas kepada orang tua. Orang tua dapat mengetahui rencana
disiplin sehingga mereka akan mendiskusikan perilaku yang diharapkan guru dan
tahu apa yang akan terjadi jika anaknya tidak mengikuti peraturan yang telah
dietapkan.
2. Pada
awal tahun, guru dapat berkomunikai melalui telepon atau catatan kecil . Setelah guru melakukan kontak positif yang
pertama ini, akan ada perbedaan respon ketika suatu saat nanti ada keharusan
untuk menghubungi orang tua karena suatu
masalah yang berkaitan dengan anaknya.
3. Guru
memberitahu orang tua mengenai masalah disiplin yang serius atau pelanggaran
yang terus menerus. Apabila masalah
disiplin ini dapat diatasi guru sendiri, maka orang tua tidak perlu dilibatkan.
Banyak orang tua yang merasa frustasi berlebihan jika diberitahu tentang
masalah anak mereka.
4. Apabila
respon orang tua dirasa akan merugikan siswa, misalnya orang tua akan berbuat
kasar pada anaknya setelah tahu masalah yang terjadi, guru dapat bertemu
langsung dengan orang tua siswa. Guru dapat memberitahu kelebihan dan kekuatan
yang dimiliki siswa tersebut, lalu megidentifikasi masalah yang ada , baru
kemudian menentukan rencana tindakan untuk membantu anak tersebut agar dapat berkembang
secara baik.
5. Apabila
semua usaha telah dilakukan namun belum memberikan hasil, guru dapat membuat
rencana baru lain, misalnya dengan kartu indeks dengan banyak bintang
didalamnya. Apabila hal ini berhasil. dapat dibuat laporan harian kepada orang
tua.Setelah siswa berkembang dapat diubah menjadi laporan bulanan. Sebagai
hasil dari komunikasi ini, terjalin hubungan yang lebih erat antara orang tua
dan pihak sekolah.
F. PENUTUP
Disiplin di sekolah dapat memberi gambaran mengenai
banyak hal, misalnya bagaimana siswa menggambarkan diri mereka sendiri,
bagaimana mereka saling meperlakukan satu sama lain, bagaimana siswa bersikap
kepada guru, bagaimana siswa bertindak di luar kelas. Dengan disiplin siswa
dapat mengontrol tindakan mereka, sehingga dapat membantu mereka untuk
berhubungan baik dengan teman, orang tua, guru, dan masyarakat pada umumnya.
Disiplin akan memerikan rasa aman dan tertib dalam
segala hal. Peraturan yang dibuat akan dapat berjalan lancar. Konsekuensi
pelanggaran yang diberlakukan akan memberi payung hukum bagi guru untuk tetap
menerapkan hukuman. Jika disiplin ditegakkan, guru dan siswa akan merasa nyaman
dalam kegiatan pembelajaran.
Disiplin akan berjalan dengan baik pelu sekali
memperhatikan tiga prinsip, yaitu kesadaran diri sendiri dari siswa,
keteladanan dari guru, orang tua dan masyarakat, serta penegakan peraturan yang
telah dibuat. Keteladanan dan penegakan peraturan merupakan faktor dari luar
yang tidak akan bertahan lama bila tanpa kesadaran dari diri sendiri. Komitmen
dari diri inilah penopang utama dalam penegakan disiplin di berbagai tempat.
DAFTAR PUSTAKA.
----- Educating for Character : How Our
School Can Teach Respect and Responbility. ( Terjemahan Juma Abdu Wamaungo
. 2013 ). Jakarta : PT. Bumi Aksara
Doni Koesoema. 2015. Pendidikan Karakter Utuh dan
Menyeluruh. Yogyakarta : PT. Kanisius.
Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari. 2015. Dari Abah Ihsan
: 7 Kiat Orang Tua Shalih Menjadikan Anak Disiplin dan Bahagia. Jakarta
: PT. Mizan Pustaka.
Imam Ahmad Ibnu Nizar. 2009. Membentuk &
Meningkatkan Disiplin Anak Sejak Dini. Yogyakarta : DIVA Press.
Sri Narwanti. 2013. Pendidikan Karakter.
Yogyakarta : Familia.
Syamsul Kurniawan. 2013. Pendidikan Karakter, Konsepsi & Implementasinya secara Terpadu di
Lingkungan Keluarga, Sekolah, Perguruan Tinggi dan Masyarakat. Yogyakarta :
Ar-Ruzz Media
Thomas Lickona. Character Matters. ( Terjemah
Juma Abdu W & Jean Antunis RZ. 2013. Persoalan Karakter ). Jakarta :
PT. Bumi Aksara.
[1] Thomas Lickona. 2012 . Educating for Character : How Our School Can
Teach Respect and Responbility . Terjemahan Oleh Juma Abdu Wamaungo . 2013
. Jakarta : PT. Bumi Aksara. Hal. 81
[2] Sri Narwanti. 2013. Pendidikan
Karakter. Yogyakarta : Familia. hlm. 16
[3]
Doni Koesoema. 2015. Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh. Yogyakarta
: PT. Kanisius. hlm. 9
[4] Syamsul Kurniawan. 2013. Pendidikan Karakter, Konsepsi &
Implementasinya secara Terpadu di Lingkungan Keluarga, Sekolah, Perguruan
Tinggi dan Masyarakat. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media. Hlm. 136
[5] Imam Ahmad Ibnu Nizar.
2009. Membentuk & Meningkatkan Disiplin Anak Sejak Dini. Yogyakarta
: DIVA Press. hlm 22.
[6] Ihsan Baihaqi Ibnu
Bukhari. 2015. Dari Abah Ihsan : 7 Kiat Orang Tua Shalih Menjadikan
Anak Disiplin dan Bahagia. Jakarta : PT. Mizan Pustaka. hlm.
[7]
Thomas Lickona. Character Matters. ( Terjemah Juma Abdu W & Jean
Antunis RZ. 2013. Persoalan Karakter ). Jakarta : PT. Bumi Aksara. hlm.
176
Comments
Post a Comment