positivisme

PEMIKIRAN POSITIVISME

A. PENDAHULUAN
Salah satu cabang dalam filsafat ilmu adalah epistemologi. Epistemologi atau teori pengetahuan merupakan cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.[1] Landasan epistemologi adalah bagaimana ilmu diperoleh. Pengetahuan yang diperoleh manusia memiliki metode tersendiri untuk memperolehnya, diantaranya adalah dengan metode positivisme.
Positivisme selalu memandang dunia dari segi positif, bersifat logis, sesuatu yang bersifat indrawi.Asumsinya, segala sesuatu harus melalui indrawi saja. Manusia modern memandang semua kemajuan berasal dari sisi materi semata. Pembangunan lebih dititikberatkan hal yang bersifat fisik. Ukuran keberhasilan hanya yang bisa dilihat lewat indra saja. Segala hal yang berbau metafisik tidak termasuk dalam ukuran kebahagiaan seseorang. 
Positivisme merupakan paham yang memandang dunia hanya dari sisi objektivistik. Pandangan dunia objektivistik adalah pandangan dunia yang menyatakan bahwa objek-objek fisik hadir terbebas dari mental dan menghadirkan properti-properti mereka secara langsung melalui data indrawi. Realitas dengan data indrawi adalah satu. Apa yang dilihat adalah realitas sebagaimana adanya. Dari paparan diatas, maka  dalam makalah ini akan dibahas mengenai pengertian Positivisme , pemikiran positivisme dari August Comte dan bagaimana implikasi Positivisme?

B. PENGERTIAN POSITIVISME
Positivisme berasal dari kata positif. Menurut Ali Mudhofir, setidaknya ada lima   pengertian dari positif [2]:
a. Sebagai kebalikan dari sesuatu yang bersifat khayal, merupakan sesuatu yang nyata. Positivisme dalam penyelidikannya didasarkan pada kemampuan akal. Hal-hal yang tidak terjangkau akal tidak dijadikan sasaran penyelidikan.
b. Sebagai kebalikan dari sesuatu yang bermanfaat, positif diartikan sebagai pensifatan dari sesuatu yang bermanfaat. Positivisme adalah segala sesuatu harus diarahkan pada pencapaian kemajuan. Maka filsafat tidak hanya berhenti pada pemenuhan keinginan manusia untuk memperoleh pegetahuan atau pengertian tentang sesuatu saja.
c. Sebagai kebalikan dari sesuatu yang meragukan, maka positif diartikan sebagai sesuatu yang telah pasti. Filsafat harus sampai pada suatu keseimbangan yang logis yang membawa kebaikan bagi setiap individu dan masyarakat.
d. Sebagai kebalikan dari sesuatu yang kabur. Maka pengertian positif diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang jelas dan tepat. Dalam pemikiran filsafat kita harus dapat memberikan pengertian yang jelas dan tepat, baik tentang gejala-gejala yang nampak atau maupun tentang apa yang sebenarnya kita butuhkan.
e. Sebagai kebalikan dari sesuatu yang negatif, maka pengertian positif dipakai untuk menunjukkan sifat-sifat pandangan filsafati yang selalu menuju kearah penataan atau penertiban. 
Menurut Sutardjo A. Wiramihardja, Positivisme mempunyai tiga pengertian umum [3]:
a. Positivisme legal, yaitu suatu teori yang menyatakan bahwa hukum negara berdasarkan pada keinginan pemilik kekuasaan negara tersebut.
b. Positivisme moral, yaitu suatu teori yang menyatakan bahwa perintah-perintah arbitrer Tuhan melakukan tindakan-tindakan tertentu mengenai benar dan salah.
c. Filsafat positivis, merupakan pandangan Auguste Comte untuk merancang pandangan dunia yang merangkum masalah-masalah dalam kehidupan ilmu modern dan menolak supertisi religi dan metafisika sebagai bentuk pikiran pra-ilmiah yang akan menyerahkan pada ilmu positif sebagai kemanusiaan meneruskan kemajuannya. Suatu aliran yang berorientasi pada ilmu pengetahuan alam, tapi menolak metafisika. Menurut Comte, hendaknya kita memandang phenomenon atau gejala itu sebagai sesuatu yang tunduk pada hukum alamiah yang menetap atau yang mutlak dan tidak tergantung pada apapun.
Menurut Fuad Ihsan, positivisme diartikan sebagai aliran yang berpangkal pada fakta yang positif, sesuatu di luar fakta atau kenyataan dikesampingkan dalam pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan.[4] Positivisme bukanlah suatu aliran yang berdiri sendiri, dia hanya menyempurnakan aliran empirisme dan rasionalisme yang bekerja sama. Dengan kata lain, positivisme menyempurnakan metode ilmiah dengan memasukkan perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran.
Positivime berusaha menyelesaikan masalah dengan menggunakan penelitian. Penelitian yang dilakukan dengan cara tahap  membuat hipotesis kemudian membuktikan hipotesis tersebut.[5] Tahap pertama mengikuti aliran raisonalisme, yaitu membuat dugaan semestara (hipotesis). Hipotesis merupakan dugaan penyebab terjadinya masalah melalui teori-teori dan hasil penelitian yang telah dikaji kebenarannya secara rasional. Penalaran yang digunakan dalam tahap ini adalah penalaran deduksi.Tahap kedua adalah menguji hipotesis yang telah disusun dengan metode empiris.Bisa dengan pengamatan, percobaan, dan perbandingan dengan hasil-hasil penelitian sejenis pada waktu sebelumnya oleh peneliti lain. Dari hasil analisis data empirik dapat diketahui mana hipotesisi yang diterima dan yang ditolak. Hipotesis yang terbukti benar akan diterima, dan statusnya menjadi tesis, kebenaran atau dalil. Sedangkan hipotesis yang ditolak akan ditinggalkan. Jadi Positivisme merupakan empirisme plus rasioalisme. Hanya saja bedanya, empirisme menerima pengalaman batiniah, sedangkan positivisme membatasi pada pengamatan obyektif saja.

C. PEMIKIRAN POSITIVISME AUGUSTE COMTE
Istilah positivisme menurut Auguste Comte paling tidak mengacu pada dua hal, pada teori pengetahuan (epistemologi) dan pada teori tentang perkembangan sejarah (akal budi ) manusia. [6]Sebagai teori tentang perkembangan sejarah manusia, istilah positivisme identik tentang pemikiran Comte sendiri mengenai tahap-tahap perkembangan akal budi manusia, yang secara linier bergerak dalam urut-urutan yang tidak terputus. Perkembangan itu bermula dari tahap mistis atau teologis ke tahap metafisis, dan berakhir pada tahapan tertinggi yaitu tahap positif.
Sebagai teori pengetahuan, istilah positivisme biasanya didefinisikan sebagai salah satu paham dalam filsafat Barat yang hanya mengakui dan membatasi pengetahuan yang benar pada fakta-fakta positif, dan fakta-fakta tersebut harus didekati dengan menggunakan metode ilmu pengetahuan, yaitu eksperimentasi, observasi, dan komparasi. Fakta positif adalah fakta yang sungguh-sungguh nyata, pasti berguna, jelas dan langsung dapat diamati dan dibenarkan oleh setiap orang yang mempunyai kesempatan yang sama untuk mengamati dan menilainya. Oleh Comte, fakta serupa itu berlawanan dengan jelas dengan keadaan yang bersifat khayal, meraukan, ilusi, dan kabur. Setiap bentuk pengetahuan yang tidak didasarkan pada atau melampaui fakta-fakta positif, dan mendekatinya tidak dengan metode ilmu pengetahuan, maka disebut fantasi atau spekulasi liar. Pengetahuan jenis ini menurut Comte, terdiri dari teologi dan metafisika, lambat laun pasti akan tersingkir dan digantikan oleh pengetahuan positif.
Dalam dunia intelektual, kedua pemikiran Comte tersebut cukup berpengaruh hingga saat ini. Asumsi-asumsi dasar di dalam ilmu pengetahuan modern tampaknya membenarkan pemikiran Comte tentang perlunya penggunaan meode-metode ilmiah dan menghapus spekulasi-spekulasi liar. Demikian pula, perkembangan budaya dan keberadaan institusi-institusi  kemasyarakatan dan pemerintahan dewasa ini, seolah-olah membenarkan pemikiran Comte tentang tibanya zaman atau tahap positif, zaman bertahtanya ilmu pengetahuan positif dalam berbagai bidang kehidupan sosial dan politik.

TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN AKAL BUDI MANUSIA
Auguste Comte termasuk golongan pemikir yang memgang teguh pendapat bahwa strategi pembaruan termasuk dalam masyarakat dapat dilakukan berdasarkan hukum alam.Masyarakat sebagai suatu kesatuan organis pada kenyataannnya lebih dari sekedar jumlah bagian-bagian yang saling ketergantungan. Comte mengajukan pendapat bahwa perlu dilakukan suatu metode empiris yang dapat meyakinkan kita bahwa masyarakat merupakan suatau bagian alam seperti halnya gejala fisik.
Dalam buku The Positive Philosophy, Comte menalaah sejarah perkembangan ilmu serta menciptakan teori tentang tiga tahap perkembangan masyarakat. Dia membagi perkembangan masyarakat ilmiah menjadi tiga yaitu tahap teologis, tahap metafisik, dan tahap ilmiah atau positif.[7]
1. TAHAP TEOLOGIS ( Sebelum 1300 M)
Tahap ini manusia berusaha menerangkan segenap fakta atau kejadian dalam kaitannya dengan teka-teki alam yang dianggapnya berupa misteri. Manusia menghayati dirinya sebagai bagian dari keseluruhan alam, yang selalu diliputi rahasia yang tak terpecahkan oleh fikirannya yang sederhana. Manusia menafsirkan gejala-gejala di sekelilingnya secara teologis. Segala fenomena di alam semesta dan kehidupan selalu dikaitkan dengan kekuatan-kekuatan supranatural, hasil tindakan landsung dari roh atau dewa. Tahap perkembangan ini biasanya kita jumpai misalnya pada manusia-manusia purba. Alam semesta dimengerti sebagai keseluruhan yang integral dan terdiri dari makhluk-makhluk yang mempunyai kedudukan yang kurang lebih setara dengan mereka. Dan seperti diri mereka sendiri, keseluruhan itu dihayati sebagai sesuatu yang hidup, berjiwa, berkemauan dan bertindak sendiri.Pengetahuan dipandang sebagai hal yang absolut.
Tahap Teologis dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu:[8]
a. Animisme. Tahap animisme adalah tahap yang paling primitif, karena benda-benda yang disakralkan dianggap mempunyai jiwa dan kekuatan.
b. Politeisme. Tahap politeisme merupakan kelanjutan dari tahap animisme. Manusia percaya kepada banyak Tuhan atau Dewa. Tiap Tuhan masing-masing memiliki kekuatan dan wilayah kekuasaan tertentu.
c. Monoteisme. Tahap monoteisme ini lebih tinggi dari dua tahap sebelumnya, karena manusia hany apercaya pada satu Tuhan.
2. TAHAP METAFISIS ( 1300-1800 M )
Menurut Comte, tahap metafisis merupakan bentuk lain dari tahap teologis. Pada tahap ini manusia mulai mencari pengertian dan penerangan yang logis dengan cara membuat abstraksi-abstraksi  dan konsepsi-konsepsi metafisik. Setiap gejala terdapat kekuatan-kekuatan abstrak yang tidak dapat diungkapkan.Manusia tidak memiliki kemampuan mencari sebab-akibat dari gejala itu. Suatu kejadian dipandang sebagai manifestasi dari hukum alam yang tidak berubah.
Pada tahap ini manusia berusaha keras untuk mencari hakikat dari segala sesuatu. Mereka tidak hanya mencari pengertian-pengertian umum tanpa dilandasi oleh pemikiran-pemikiran dan argumentasi-argumentasi logis. Untuk tujuan itu dogma agama mulai ditinggalkan dan kemampuan akal budi mulai dikembangkan. Manusia mulai mengerti bahwa irrasionalitas harus disingkirkan dan analisis berfikir perlu dikembangkan.

3. TAHAP POSITIF ( Mulai 1800 M )
Pada tahap ini gejala dan kejadian alam tidak lagi dijelaskan secara a priori, melainkan berdasarkan observasi, eksperimen dan komparasi yang ketat dan teliti. Gejala dan kejadian alam harus dibersihkan dari muatan teologis dan metafisisnya. Akal tidak diarahkan untuk mencari kekuatan-kekuatan yang bersifat transenden dibalik - atau hakikat (esensi) di dalam – setiap gejala dan kejadian. Akal pun tidak lagi berorientasi pada pencarian sebab pertama dan tujuan akhir dari kehidupan.
Apa yang diketahui manusia semua berasal dari pengalaman indrawi atau data empiris. Manusia telah mampu berfikir, mencari hukum-hukum kausal alam semesta dan kehidupan manusia. Akal mencoba mengobservasi gejala dan kejadian secara empiris dan hati-hati untuk menemukan hukum-hukum yang mengatur ( yang menjadi sebab musabab timbulnya) gejala dan kejadian itu. Hukum - hukum yang ditemukan secara demikian tidak bersifat irrasional atau kabu, melainkan nyata dan jelas karena sumbernya diperoleh langsung dari gejala-gejala dan kejadian-kejadian positif yang dapat dipahami oleh setiap orang. Inilah yang disebut positivisme. Ilmu pengetahuan mulai berkembang.
Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sifat dasar dari organisasi suatu masyarakat tergantung dari pola berfikir yang dominan serta gaya intelektual masyarakat itu. Jika intelektual dan pengetahuan tumbuh, maka masyarakat secara otomatis akan tumbuh pula. Menurut Comte, perkembangan masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan dan perkembangan lainnya selalu mengikuti hukm alam yang empiris sifatnya.
Positivisme menolak pemikiran yang didasarkan pada tahap pertama dan kedua. Keduanya tidak dianggap sebagai pengetahuan. Positivisme menganggap pengetahuan adalah yang berurusan dengan fakta-fakta yang nyata, dan dapat diindra. Karena itu metafisis harus ditolak, karena dianggap tidak riil dan tidak dapat diindra. Dalam kerangka ini, wahyu dan kepercayaan-kepercayaan agama hanyalah bohong belaka.

ILMU PENGETAHUAN POSITIF
Bangunan ilmu pengetahuan positif dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Ilmu pengetahuan harus bersifat obyektif( bebas dan netral ).Obyektifitas pengetahuan berlangsung dari dua pihak, pihak subyek dan obyek. Pada pihak subyek seorang ilmuwan tidak boleh membiarkan dirinya terpengaruh oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam dirinya sendiri, misalnya sentimen pribadi, penilaian-penilaian etis, kepentingan pribadi atau kelompok, kepercayaan agama, filsafat, dan apa saja yang bisa mempengaruhi obyektifitas dari obyek yang sedang diobservasi. Pada pihak obyek, aspek-aspek dan dimensi-dimensi lain yang tidak bisa diukur di dalam observasi, misalnya roh atau jiwa, tidak dapat ditolerir keberadaannya. Laporan-laporan atau teori-teori ilmiah hanya menjelaskan fakta-fakta atau kejadian-kejadian yang dapat diobservasi dan atau dibuktikan keberadaannya.
2. Ilmu pengetahuan harus berurusan dengan hal-hal yang berulang kali terjadi. Jika ilmu pengetahuan diarahkan pada hal-hal yang unik, yang hanya sekali saja terjadi, maka pengetahuan itu tidak akan membantu kita meramalkan atau memastikan hal-hal yang akan terjadi.
3. Ilmu pengetahuan menyoroti setiap fenomena atau kejadian alam dari saling ketergantungan dan antar hubungannya dengan kejadian-kejadian lain. Mereka diandaikan saling berhubungan satu sama lain dan membentuk suatu sisitem yang bersifat dinamis. Maka perhatian ilmuwan bukan pada hakikat dari gejala atau kejadian, melainkan relasi luar ( eksternal ) khususnya relasi sebab akibat(kausal), antara benda-benda, gejala-gejala, atau kejadian-kejadian.
Dari berbagai uraian diatas, ada lima asumsi dasar positiivisme yang dapat diidentifikasi, yaitu realisme naif, dualisme peneliti-obyek, generalisasi, kasualitas linear, dan bebas nilai[9]. Kelima asumsi ini bukan hal yang terpisah-pisah, namun saling terkait antara satu dengan yang lain.
Realisme naif atau istlilah lain obtektivisme mengemukakan bahwa positivisme dibangun diatas pandangan ontologis mengenai realitas tunggal dan obyektif. Di sana ada realitas yang dapat diamati dan diketahui oleh ilmuwan. Realitas itu dapat berupa fisik, waktu/temporal. dan sosial, yang dapat diketahui dengan menghimpun hasil penelitian individual berupa perkiraan. Realisme naif mempertahankan kualitas-kualitas yang dirasakan secara formal, lepas dari sensasi dan cara subyek menerimanya.
Dualisme peneliti-obyek, artinya Peneliti dan obyek yang diamati merupakan dua hal yang terpisah secara tegas. Hubungan antara keduanya disingkirkan melalui metode ilmiah. Pemisahan ini meliputi semua ilmu, termasuk ilmu alam dan juga ilmu sosial. Prosedur dan metodologis dalam ilmu alam dapat digunakan dalam ilmu sosial . Subyektivitas ilmuwan dan  kepentingan-kepentingannya dianggap tidak akan mengganggu obyek pengamatan dalam ilmu sosial, yaitu tingkah laku manusia.
Generalisasi artinya hasil pengamatan atas sampel dapat dijadikan estimasi untuk seluruh populasi, yang tercermin dalam penalaran induksi. Penalaran induktif merupakan penyimpulan dariserangkaian keterangan tunggal hasil observasi kepembenaran keterangan umum atau universal. Realitas dalam positivisme dipandang obyektif dan tunggal, setiap pecahan relaitas itu dapat digeneralisasikan.  Hukum yang berlaku pada pola perilaku individu dapat dianggap berlaku juga dalam kelompok besar pada peristiwa bersangkutan.
Kasualitas linier atau hukum sebab akibat merupakan prinsip alam yang ingin ditemukan positivisme dalam ilmu.  Apabila seseorang ingin mengetahui A sebagai penyebab B, dia tidak saja dapat meramalkan B dengan pengetahuan dari A, tapi dia juga dapat mengendalikan B. Hukum kasualitas ini didasarkan pada kaidah orde dan determinasi alam. Orde berarti alam ini teratur, berjalan tidak serampangan. Semua peristiwa dia lam ini merupakan pola teratur yang dapat diramalkan dan bahkan dikendalikan.
Bebas nilai  dalam ilmu pengetahuan , yang mengakibatkan  dualisme pengetahuan yang rasional, obyektif, dan bebas nilai, yang dapat menjadi obyek ilmu pengetahuan di satu pihak, dan keputusan-keputusan yang berdasarkan nilai dan norma yang dianggap tidak terbuka bagi argumentasi rasional, subyektif, dan tidak dapat dijadikan ilmu pengetahuan di pihak lain. Keduanya merupakan hal yang terpisah. Bagian pertama merupakan fakta yang dapat dikontrol secara ilmiah melalui  pengamatan empiris.  Sedangkan bagian kedua merupakan keputusan bagaimana orang bertindak, didasarkan pada keyakinan tertentu. Keyakinan, norma, nilai, dan sejenisnya menurut positivisme bukan merupakan pernyataan tentang fakta, tapi merupakan keyakinan individu yang sangat subyektif.Kaena bersifat subyektif, maka nilaitidak bisa dikontrol, dantidak bisa diterpkan pada semua orang dalam berbagai hal. Maka ilmu pengetahuan harus bebas dari nilai. Menurut Comte, positivisme adalah puncak pembersihan pengetahuan dari kepentingan dan awal pencapaian cita-cita untuk memperoleh pengetahuan demi pengetahuan.

D. IMPLIKASI POSITIVISME
Pengaruh suatu filsafat amat sulit diukur, hal ini karena jangka waktu yang panjang antara diterbitkannya buku  utama Comte  , Cours de philosophie positive (6 volume,1830-1842) sampai saat ini. Dalam waktu tersebut tentu telah muncul pemikiran filsafat yang lain dari berbagai bidang dan disiplin ilmu, yang mungkin memiliki pengaruh lebih kuat daripada positivisme sendiri dalam memberi bentuk dan corak pada suatu kebudayaan.Namun ada juga beberapa pengaruh positivisme,  walaupun belum tentu secara langsung. Berikut beberapa kontribusi pemikiran positivisme terhadap budaya barat:[10]
1. Semakin besarnya rasa optimisme masyarakat Barat yang telah timbul sejak jaman Aufklarung mengenai hari depan umat manusia yang semakin baik atau maju.
2. Semangat eksploratif dan ilmiah para ilmuwan sedemikian rupa sehingga mendorong lahirnya model-model ilmu pengetahuan yang positif, terlepas dari muatan-muatan yang spekulatif.
3. Konsepsi yang lebih luas tentang kemajuan dan modernisasi yan menitik beratkan pada bidang ekonomi, fisik, dan teknoligi( model masyarakat industri).
4. Menguatnya golongan teknokrat dan idustriawan dalam pemerintahan.
5. Dalam ranah aliran psikologi, positivime menjelma menjadi aliran behaviorisme, atau sering disebut neopositivisme
6. Dalam bidang budaya, muncul dalam kritik sastra dan kritik seni
7. Dalam bidang politik, muncul dengan pemberlakuan hukum positif.
Kemajuan ilmu pengetahuan membuat manusia semakin melaju dalam peradabann, termasuk pula kejiwaan, sikap dan pengambilan keputusannya. Hidup dan kehidupannya akan dilalui dengan berdasarkan keputusan yang diambil tentu berdasarkan ilmu yang dimilikinya. Nilai kebenaran akan dilihat secara terpisah dengan kehidupan itu sendiri. Nilai-nilai budaya yang utuh dan kompleks akan dipecah ke dalam peradaban modern yang sifatnya determinasi.
Positivisme memandang segala sesuatu dari segi fisik dan material, sesuatu yang nyata. Jika tolak ukur keberhasilan pembangunan adalah kemajuan fisik material, maka sasaran atau orientasi hidup manusia ditujukan untuk mendapatkan kekayaan material sebanyak-banyaknya. Maka konsekuensinya manusia kan digiring pada orientasi tujuan, sehingga nilai etika dan moral akan dipinggirkan. Tujuan hidup kita bukan pada kebahagiaan dan kenikmatan kerja, kerja untuk ibadah, melainkan perolehan sebanyak-banyaknya hasil dalam waktu yang singkat. Jalan pintas dan perilaku amoral akan menjadi legal di mata masyarakat.
Harga diri dan martabat manusia ditentukan oleh seberapa besar dia memperoleh akses ekonomi yang besar. Hal-hal yang menguntungkan secara ekonomi menjadi tujuan hidupnya. Kualitas pribadi atau kepribadian seseorang akan menjadi hal yang dinomor sekiankan. Manusia akan menjadi materialistis dan tidak mengakui agama sebagai pegangan hidup. Hasil akhir positivisme adalah kesenangan duniawi semata.


BIBLIOGRAFI
A.Wiramihardja, Sutardjo. Pengantar Filsafat ( Bandung, PT. Refika Aditama, 2006)
Amsal Bakhtiar. 2012. Filsafat Ilmu. Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada
Aripin Banasuru. 2014.Filsafat dan Filsafat Ilmu dari Hakikat ke Tanggung Jawab. Bandung: ALFABETA
Giyanto. 2009. Melawan Positifisme. JurnalKebebasan:Akal dan Kehendak. Volume III, Edisi 70, tanggal 22 Maret 2009
Ihsan, Fuad. Filsafat Ilmu. (Jakarta, Rineka Cipta, 2010)
Mudhofir, Ali. Fisafat Manusia, Memahami Manusia melalui Filsafat.( Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2009)
Mudhofir, Ali. Kamus Istilah Filsafat dan Ilmu.( Yogyakarta, Gajah Mada University Press, 2001)
O. Habiansyah. 2000. Menimbang Positisme. Jurnal: Mediator,Vol.1.No.1. 2000
Somantri, Emma Dysmala. Kritik Terhadap Paradigma Positivisme. Jurnal Wawasan Hukum,Vol. 28 No.01 Februari 2013.
Zainal Abidin. 2009. Filsafat Manusia,Memahami Manusia melalui Filsafat. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya



[1] Amsal Bakhtiar. 2012. Filsafat Ilmu. Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada. Hlm. 148
[2] Ali Mudhafir. 2001. Kamus Istilah Filsafat dan Ilmu. Yogyakarta:UGM Press. Hlm.284
[3] Sutardja A. Wiramihardja. 2006. Pengantar Filsafat. Bandung: PT. Refika Aditama. Hlm.145
[4] Fuad Ihsan. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta. Rineka Cipta. Hlm.182
[5] Aripin Banasuru. 2014.Filsafat dan Filsafat Ilmu dari Hakikat ke Tanggung Jawab. Bandung: ALFABETA. Hlm.36
[6] Zainal Abidin. 2009. Filsafat Manusia,Memahami Manusia melalui Filsafat. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Hlm.129
[7] Giyanto. 2009. Melawan Positifisme. Jurnal Kebebasan :Akal dan Kehendak. Volume III, Edisi 70, tanggal 22 Maret 2009. Hlm. 2
[8] Emma Dysmala Somantri.2013.  Kritik Terhadap Paradigma Positivisme. Jurnal Wawasan Hukum,Vol. 28 No. 01 Februari 2013. Hlm. 623
[9] O. Habiansyah. 2000. Menimbang Positisme. Jurnal: Mediator,Vol.1.No.1. 2000. Hlm. 127
[10] Zainal Abidin. Loc Cit.

Comments

Popular posts from this blog

EVALUASI dan PENILAIAN dalam KURIKULUM 2013

PERMASALAHAN DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH

Aliran filsafat pendidikan modern